Hmmm post pertama untuk tahun 2018 ini mungkin terdengar kontroversial bukan? Tetapi memang, yang akan saya bahas kali ini adalah karya ilegal salah satu sastrawan terbesar Indonesia yaitu Pramoedya Ananta Toer.
Bagi anda yang belum tahu siapa Pramoedya disini, dia adalah sastrawan yang banyak menghasilkan karya - karya fenomenal. Namun saat masa Orde Baru, dia dicap sebagai simpatisan kiri dan alhasil dia dibuang ke Pulau Buru. Selama ditahan di pulau jenis gulag tersebut, tidak menghentikan imajinasi dia dalam berkarya. Bahkan saat dia dilepaskan, Pramoedya langsung menerbitkan karya terbarunya.
Pemerintah Orde Baru yang memang selalu memasang mata ke dia, langsung bertindak cepat dengan membredel karyanya. Namun langkah pemerintah tidak menghentikan orang - orang untuk tetap ingin menikmati karya sastra tersebut. Selain jual beli melalui bawah tanah alias sembunyi - sembunyi, ada juga yang memakai cara tersendiri. Yaitu mengetik ulang karya Pramoedya yang baru saja keluar alias distensil dan dijual belikan secara ilegal tentunya. Nah disinilah kita akan berbicara pada post ini.
Bagi anda pemerhati Pramoedya, pasti bertanya - tanya bagaimana saya bisa mendapatkan koleksi unik ini bukan? Ini tidak terlepas dari siapa lagi kalau bukan mendiang ayah saya. Dulu ayah saya sempat bercerita, bahwa dia mendapatkan stensilan ini dari daerah Banjarsari atau mungkin pasar loak seperti Triwindu. Jujur saja, saya dari dulu belum pernah melihat apalagi membaca stensilan tersebut. Akhirnya pada bulan November tahun lalu, saya menemukan kembali buku yang ayah saya sebut ini.
Sumber: Pinterest
|
Bagi anda yang belum tahu siapa Pramoedya disini, dia adalah sastrawan yang banyak menghasilkan karya - karya fenomenal. Namun saat masa Orde Baru, dia dicap sebagai simpatisan kiri dan alhasil dia dibuang ke Pulau Buru. Selama ditahan di pulau jenis gulag tersebut, tidak menghentikan imajinasi dia dalam berkarya. Bahkan saat dia dilepaskan, Pramoedya langsung menerbitkan karya terbarunya.
Pemerintah Orde Baru yang memang selalu memasang mata ke dia, langsung bertindak cepat dengan membredel karyanya. Namun langkah pemerintah tidak menghentikan orang - orang untuk tetap ingin menikmati karya sastra tersebut. Selain jual beli melalui bawah tanah alias sembunyi - sembunyi, ada juga yang memakai cara tersendiri. Yaitu mengetik ulang karya Pramoedya yang baru saja keluar alias distensil dan dijual belikan secara ilegal tentunya. Nah disinilah kita akan berbicara pada post ini.
Seperti yang anda lihat, karya stensil ini memang benar - benar tidak ada standar kualitasnya. Dari salah ketik, cetakan yang kurang jelas, halaman yang ditulis tangan, konten asli yang tidak dapat dibaca oleh juru ketik hingga kesalahan teknis yang mengakibatkan satu halaman kosong tidak terjamah cetakan. Selain itu pula, stensil ini tidaklah lengkap. Karena hanya memuat 292 halaman, sedangkan novel aslinya lebih tebal 2 kali lipat alias sebanyak 494 halaman.
Tentang buku aslinya sendiri, "Jejak Langkah" terbit pada tahun 1985. Seperti yang sudah saya singgung diatas, bersama dengan 3 karya Pramoedya lainnya yang bernama "Tetralogi Buru", "Jejak Langkah" hanya berumur beberapa bulan setelah terbit. Mengapa dilarang? Karena rezim Orde Baru menganggap karya - karya Pramoedya berisi ajaran Marxis-Leninis yang tabu bagi mereka.
"Jejak Langkah" tahun 1985
Mungkin aneh memang. Ayah saya seorang pegawai negeri sipil, saat itu camat dan juga pernah mengenyam pendidikan militer yang notabene harus loyal kepada pemerintah dengan berani memiliki barang terlarang dan ilegal semacam ini. Saat Orde Baru runtuh dan Orde Reformasi datang, ayah saya langsung mengoleksi buku - buku Pramoedya yang telah resmi beredar. Namun kita tidak akan pernah tahu, mengapa dia dengan berani mempunyai stensilan ilegal yang bisa membahayakan karier dan bahkan nyawanya ini.
Kembali lagi ke stensilan, munculnya buku ini mungkin tidak terlepas dari rasa penasaran masyarakat tentang karya Pramoedya. Entah yang dari dulu sudah mengenal lama Pramoedya atau entah yang penasaran saja. Yang pasti, stensilan ini adalah bukti bahwa buku atau karya sastra tidak akan pernah bisa dilarang, dibredel, apalagi dibakar ...
Usia: 1985 - 1994 (ayah saya menjabat di Solo hingga tahun 1994)
Kembali lagi ke stensilan, munculnya buku ini mungkin tidak terlepas dari rasa penasaran masyarakat tentang karya Pramoedya. Entah yang dari dulu sudah mengenal lama Pramoedya atau entah yang penasaran saja. Yang pasti, stensilan ini adalah bukti bahwa buku atau karya sastra tidak akan pernah bisa dilarang, dibredel, apalagi dibakar ...
Usia: 1985 - 1994 (ayah saya menjabat di Solo hingga tahun 1994)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar