Label

agfa (4) amerika (61) belanda (217) buku (79) bulu tangkis (6) calm before storm (1919-1938) (83) canteen (6) cina (25) diary (22) dongeng (2) filateli (30) film (7) foto (64) gaji (3) gevaert (3) happy birthday (8) helm (22) hukum (2) indonesia (256) inggris (53) italia (15) jepang (60) jerman (69) kanji (10) kapal (36) kartun (1) kenang-kenangan invaliden (4) kepala negara (68) knil (93) komik (1) koos allemany (18) koran (5) liner (2) lukisan (3) m1 (11) majalah (15) manual (10) medali (31) misteri (20) muara-buku (12) museum goes to campus (8) musik (6) named collection (24) olah raga (9) once upon a time (3) paper work (45) paska soviet (19) pengumuman (8) perang dingin (158) perang dunia I (32) perang dunia II (162) personal tale (4) perwira (73) peta (9) polisi (18) post-napoleonic (6) prajurit (80) propaganda (57) repro (4) rusia (14) sekolah (7) senjata (18) seragam (32) sipil (107) Story Behind Letter (5) surakarta (70) tentara (137) tni (91) ulang tahun blog (17) unik (72) update (49) veteran (10) victorian-edwardian (41) video (18) voc (11) Wij Strijden Met De Teekenstift (52)

Oude Indonesie

Oude Indonesie
Nederland oost-indiƫ hier komen we!

Zoeklicht

Zoeklicht
We zullen de kolonie te verdedigen!

Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?

Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?
Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?
Tampilkan postingan dengan label Story Behind Letter. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Story Behind Letter. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Mei 2017

Story Behind Letter - Bangkalan 46


Seperti biasa, Story Behind Letter kembali tiap tanggal 1.
Apakah anda pernah penasaran dengan kondisi keluarga anda pada saat perang? Pasti anda akan bertanya kepada mereka atau minimal memberitahukan mereka tentang kondisi anda bukan? Inilah yang terjadi kepada Raden Panji Abdul Hamid. Abdul Hamid adalah anak dari Kanjeng Pangeran Aryo Soejono Handajaningrat (orang yang sama dengan post 2 bulan lalu) mengirim pesan kepada ayahnya bahwa dia dan adiknya baik - baik saja. Saat itu tanggal 10 Januari 1946, Abdul Hamid beserta Hariono tinggal di Bangkalan Madura. Seperti yang sudah disinggung 2 bulan lalu, istri Soejono beserta anak - anaknya tinggal di Surabaya menjelang Pertempuran Surabaya terjadi. Ada kemungkinan saat itu Abdul Hamid dan Hariono awalnya sudah tinggal di Bangkalan sebelum konflik terjadi. Atau sebaliknya, mereka berdua dievakuasi oleh ibunya menjauh dari daerah konflik. Saat situasi sudah mulai kondusif, mereka berdua berinisiatif menanyakan kondisi ayahnya dan adik - adiknya yang ada di kota Solo. Dari kalimat yang mereka sampaikan pula, terbersit harapan agar Bangkalan tidak menjadi daerah konflik. Sayang harapan mereka tidak akan tercapai selamanya. Karena kelak pulau Madura termasuk Bangkalan akan diserang oleh Belanda ...

"Bangkalan, 10 - 1 - 1946
MERDEKA.
Dengan segala hormat,
Bersama dengan ini soerat lain poen tiada ananda ingin sekali mendapat kabar dari keadaan Ajah dan Adik-adik di sini adanja. Keadaan ananda dan adik Hariono baek dan slamat. Moedah-moedahan di sini begitoe djoega adanja.
Sembah soengkem,
Ananda dan Hariono.
MERDEKA."

Bangkalan, 10 - 1 - 1946
MERDEKA
Dengan segala hormat,
Bersama dengan ini dan surat lainnya, adik penasaran dengan keadaan ayah dan adik - adik disana. Keadaan adik dan Hariono baik dan selamat. Mudah - mudahan sama juga keadaannya..
Dengan hormat,
Adik dan Hariono.
MERDEKA."


Usia: 1946

Sabtu, 01 April 2017

Story Behind Letter - Agresi Belanda I


Sekarang tanggal 1 dan artinya kembali lagi ke Story Behind Letter! hehehe
Kali ini kita akan cek kartu pos dari daerah Brambanan dikirim ke Solo. Kartu pos yang ditulis oleh D. Dirdjoatmodjo kepada temannya yaitu Kien Soekijono. Keunikan dari kartu pos ini tidak lain adalah tanggal pengirimannya. Terdapat cap stempel pos tertanggal 11 dan 12 Agustus 1947 atau tidak lama setelah Agresi Militer (Aksi Polisionil) Belanda I usai. Kondisi di Solo belum bisa dikatakan pulih benar. Terlihat dari isi surat Dirdjoatmodjo, disini dia memberitahu kepada Kien bahwa rencana kembalinya dia ke Solo terutama untuk kembali lagi untuk bersekolah pada tanggal 20 Agustus batal karena orang tua Dirdjoatmodjo tidak memberi ijin. Keputusan tersebut juga tidak terlepas dari kondisi yang masih belum stabil saat itu. Karena baik Indonesia dan Belanda baru menyatakan gencatan senjata pada tanggal 17 Agustus 1947. Sebuah keputusan yang logis untuk tidak bepergian jauh dulu pada saat itu. Terutama keamanan yang masih belum stabil.
Selain itu pula keunikan juga terlihat pada adanya stempel "TELAH DITILIK". Ini menandakan bahwa sudah adanya usaha pengsensoran terhadap surat yang keluar masuk di dalam wilayah Indonesia. Mungkin ini untuk mengantisipasi adanya spionase yang terjadi.
Jadi dari semua ini, bisa diambil kesimpulan bahwa kondisi daerah sesaat setelah Agresi Militer Belanda I memanglah tidak aman saat itu ... 
"Kien, suratku yang pertama sudah sampai kan? Syukur kalau tidak kesasar. Sekarang menyusul lagi. Anu Kien, dulu aku pernah bilang kalau aku pulang tanggal 20 Agustus atau setelahnya. Tetapi karena kondisi yang masih seperti ini orang tuaku belum dapat menetapkan kapan aku pulang. Tolong aku diingatkan kalau ada pengumuman dari sekolah, aku sangat berharap kamu memberi kabar."


Usia: 12 Agustus 1947

Rabu, 01 Maret 2017

Story Behind Letter - Surabaya 45


Seperti biasanya, saat masuk tanggal 1 kita cek Story Behind Letter. Kali ini kita akan membahas kartu pos bercap stempel 19 Oktober 1945 dari Raden Ayu Soejono kepada suaminya yaitu Kanjeng Pangeran Haryo Soejono Handajaningrat. Bu Soejono yang saat itu tinggal di Surabaya mengirimkan sebuah surat konfirmasi kepada Pak Soejono yang berada di Solo. Entah bagaimana ceritanya mengapa mereka berdua saat itu berada di 2 kota berbeda yang berjauhan. Namun yang pasti, Bu Soejono memberitahukan kondisi anak - anak mereka di Surabaya. Untuk lebih jelasnya, silahkan anda baca terlebih dahulu suratnya berikut ini: 
"Sb 18/10 45

Pak jang terhormat,
Bersama ini saja memberi kabar djika anak2 semoea ada slamet ta koerang apa2. Tjoema ini waktoe banjak repot pekerdjaan. Kemarin sore djam 4 mengadakan parade demonstratie di kotta Sb sama tank2 dan mrijem. Kamoe poenja anak wong djadi kepalanja. Kita poenja roemah dapet djaga dan ada telpon sekarang. Djadi kalaoe rawoeh lebih baik disini sadja. Kaoem Indo ta diberi makan, jang laki ditawan sebab Nica terlaloe tenaganja di lain tempat. Maka dari ini anak2 banjak kerdja saja
(tidak terbaca) dan djaga semoeanja. Saja harep anak2 di Solo semoa sehat slamet. Pah djoega Pak Bario saja denger dari Pono.
Sekianlah doeloe. Hormat dari kita semoea.
Iboenja anak2."


Surabaya 18 Oktober 1945

Bapak yang terhormat,
Bersama ini saya memberi kabar jika semua anak selamat, tidak ada yang kurang. Hanya saja akhir - akhir ini banyak kesibukan. Kemarin sore jam 4 mengadakan parade di kota Surabaya bersama tank - tank dan meriam. Anakmu menjadi kepalanya. Kami punya rumah yang ada penjaganya dan sekarang ada telepon. Jadi kalau berkunjung lebih baik disini saja. Kaum Indo tidak diberi makan, yang pria ditawan sebab NICA selalu dimana - mana. Maka dari ini anak - anak sibuk bekerja, saya (tidak terbaca) dan jaga semuanya. Saya harap anak - anak di Solo semua sehat dan selamat? Pah saya juga dengar Pak Bario dari Pono.
Sekian dulu. Hormat kami dari kami semua.
Ibunya anak - anak.

Seperti yang anda sudah baca, ada beberapa poin menarik yang bisa diambil dari "laporan" Ibu Soejono disini. Yang pertama adalah pada tanggal 17 Oktober 1945 terdapat parade militer. Parade yang dilaksanakan pada jam 4 sore tersebut juga dipimpin oleh salah satu putra keluarga Soejono. Jika kita perhatikan kekuatan militer yang ditampilkan saat itu tidaklah main - main. Terdapat lebih dari 1 tank dan meriam, parade ini kemungkinan diadakan sebagai show of force baik kepada masyarakat, tentara Jepang ataupun kepada Inggris / NICA karena minggu berikutnya Inggris mendaratkan pasukannya di Surabaya.
Tank buatan Jepang Tipe 97 Shinhoto Chi-ha koleksi Museum Brawijaya di Malang.
Tank ini direbut dari Jepang pada bulan Oktober 1945 dan nantinya digunakan melawan Inggris dalam Pertempuran Surabaya 1 bulan kemudian. Apakah tank ini yang sempat disaksikan oleh Bu Soejono?
Sumber
Tank buatan Amerika Serikat Marmon - Herrington CTLS milik PBM (Pasukan Berani Mati - Jibakutai ?) yang direbut oleh pasukan Inggris pada Pertempuran Surabaya. Apakah tank ini juga ikut berparade pada tanggal 17 Oktober 1945?
Sumber


Armoured Personnel Carrier buatan Inggris yaitu Bren Carrier yang dimodifikasi oleh TKRL (Tentara Keamanan Rakyat Laut) direbut oleh pasukan Inggris saat Pertempuran Surabaya. Apakah APC ini juga dilihat oleh Bu Soejono sebulan sebelumnya?
Sumber: Wikipedia

Meriam anti udara buatan Inggris Bofors yang dilumpuhkan oleh Inggris pada Pertempuran 10 November.
Apakah meriam ini yang disinggung oleh Nyonya Soejono di suratnya?
Sumber

Untuk yang kedua, putra keluarga Soejono memimpin langsung parade tersebut. Berarti sang putra bukanlah orang sembarangan di kalangan militer Indonesia pada masa itu. Selain itu pula, putra Soejono yang lain juga bekerja sebagai tentara. Berkat itulah rumah keluarga Soejono di Surabaya dijaga dan aman dari pihak lawan.
Keunikan lainnya adalah sudah adanya gerakan untuk membungkam elemen yang dianggap akan pro kepada NICA. Sebelumnya NICA sudah mendarat bersama Inggris pada pertengahan bulan September tahun 1945 di Jakarta. Jika kita menilik isi surat Nyonya Soejono, NICA sudah bergerak untuk mencari simpatisan. Alhasil orang Indo menjadi target, akibatnya mereka tidak diberi makan oleh pihak Indonesia serta kaum prianya ditawan. Karena ini pula anak - anak keluarga Soejono sibuk untuk mengincar orang - orang suruhan NICA tersebut.
Keunikan terakhir adalah kartu pos yang digunakan oleh Bu Soejono adalah kartu pos jaman Jepang. Suatu yang lumrah terjadi pada saat itu, terutama beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Gunakan yang tersisa sambil menunggu cetakan yang baru muncul.
Jadi beginilah surat dari sang istri kepada suaminya. Meskipun dari penampilan, kartu pos ini terkesan biasa namun isinya sudah menggambarkan kegentingan yang terjadi di Surabaya pada saat itu. Kegentingan yang akan meledak pada tanggal 10 November 1945. Bagaimanakah nasib Nyonya Soejono terutama anak - anaknya nanti? Ini masih menjadi pertanyaan besar ...


Usia: 19 Oktober 1945

Rabu, 01 Februari 2017

Story Behind Letter - Dua Kawan di Pihak Berseberangan


Sudah masuk tanggal 1 berarti kita cek kembali surat menarik yang saya miliki.
Kali ini kita akan cek sebuah kartu pos dari tahun 1949. Kartu pos yang dikirim oleh Atmo Sudirdjo di Asrama Pelajar Karang Panas Semarang (mungkin sekarang SMK IPT Karang Panas) ini ditujukan kepada teman dekatnya yaitu Hartanto di Solo.

Seperti yang sudah anda lihat sendiri, kartu pos ini menggunakan 4 bahasa, Indonesia, Belanda, Jawa dan Inggris. Uniknya lagi untuk Bahasa Inggris, Atmo Sudirdjo menggunakan broken english. Dari isi surat yang dituliskan disini, kondisi kedua kawan disini berbeda. Atmo Sudirdjo tinggal di daerah federal milik Belanda sedangkan Hartanto tinggal di daerah Indonesia. Menariknya lagi sepertinya Hartanto ikut serta dalam perlawanan melawan Belanda. Sedangkan Atmo Sudirdjo tinggal di Semarang dan berhubung di asrama pelajar dia harus belajar dan salah satunya berbahasa Belanda setiap harinya. Di asrama tersebut, Atmo Sudirdjo sepertinya juga diajarkan Bahasa Inggris alhasil dia memamerkan kebolehannya disini meskipun LWO hasilnya. Uniknya pada awal surat, dia menulis kata "Merdeka!", kata yang tabu jika diucapkan satu tahun sebelumnya di daerah kekuasaan Belanda. Namun sudah dibolehkan berhubung perang sudah berakhir.
Selain semua itu diatas, ada pula yang menarik disini. Yaitu disinggungnya teman Atmo Sudirdjo yang juga dari Solo. Rochid namanya dan diceritakan dia sempat tinggal di Belanda alhasil dia sudah lancar berbahasa Belanda dengan Hollander atau orang Belanda. Namun Rochid sendiri takut untuk kembali ke Solo saat sekolah dibuka kembali. Karena dia menganggap Solo masih berbahaya buat dia. Kondisi yang wajar pada saat itu, dimana perang antara Belanda dan Indonesia baru saja berakhir dan ada ketakutan bagi orang dari pihak berseberangan untuk kembali ke kampung halamannya ...


Usia: 8 November 1949

Minggu, 01 Januari 2017

Story Behind Letter - Parade Proklamasi


Untuk memperingati tahun 2017 yang baru ini, saatnya saya memperkenalkan tipe post yang baru, Story Behind Letter. Disini saya akan memperlihatkan isi dari sebuah surat atau kartu pos dalam koleksi saya. Ini bukan pertama kalinya saya membuat post seperti ini, karena saya sempat membuat post seperti lelang dan surat terakhir kepada orang yang dikasihi. Maka seperti yang sudah saya terangkan diatas, saatnya ada post tentang tema tersebut. Maka post pertama Story Behind Letter adalah kartu pos bercap stempel 22 Agustus 1950 berikut ini. Jujur saja, isi surat ini biasa saja. Namun yang tidak biasa adalah kalimat terakhir pada bagian muka kartu pos.
"Pada 17-8-45. Saja pun djuga melihat parade 17 agust, wah hebat betul deh, baru 1x ini saja melihat parade jg sebagus itu."

"Pada 17 Agustus 1945 saya juga melihat parade 17 Agustus. Wah hebat betul deh, baru kali ini saya melihat parade sebagus itu."

Sang pengirim yaitu Nurwanto di Jakarta bercerita kepada Suwarto yang ada di Solo bahwa dia sempat menyaksikan peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Meskipun peristiwa sudah berlalu 5 tahun namun Nurwanto yang beralamat di jalan Sumenep nomor 27 masih ingat dengan jelas peristiwa tanggal 17 Agustus 1945 tersebut. Dia menjelaskan bahwa pada hari itu, dia melihat parade yang sangat bagus untuk memperingati proklamasi kemerdekaan tersebut. Sayang saya belum menemukan cerita parade yang dilaksanakan pasca pembacaan proklamasi. Namun ada beberapa cerita menarik lainnya yang muncul pada tanggal sakral bagi rakyat Indonesia tersebut. Kembali ke Nurwanto, unik memang dia menjelaskan bahwa parade 17 Agustus 1945 adalah yang paling bagus yang pernah dia lihat seakan dia tidak pernah menyinggung tentang parade di masa Jepang maupun Belanda. Kemungkinan euforia kemerdekaan mempengaruhi penilaian Nurwanto disini. Sangat logis memang.


Usia: 1950