Oude Indonesie

Oude Indonesie
Nederland oost-indiƫ hier komen we!

Zoeklicht

Zoeklicht
We zullen de kolonie te verdedigen!

Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?

Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?
Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?

Selasa, 04 Juni 2019

Pasukan Keraton Kasunanan Surakarta - Tugas Masa Damai

Salah satu tugas masa damai yang dilakukan oleh prajurit keraton adalah mengawasi larangan dari Sunan. Seperti yang terjadi pada masa Pakubuwono III dimana prajurit keraton mengawasi jalannya aturan penggunaan keris dan pemakaian busana. Jika para prajurit melanggar aturan tersebut, akan dihukum lebih berat oleh Sunan.
Pada masa Pakubuwana IV, salah satu kegiatan seremonial. Salah satu kegiatan seremonial yang mereka lakukan adalah tembakan salvo senapan 100 kali untuk tamu penting yang berkunjung.
Salvo atau yang disebut drel sempat juga dilakukan pada upacara sunatan Putra Mahkota pada tahun 1797, perayaan Garebeg Mulud dan Garebeg Puasa serta untuk merayakan kelahiran anak Sunan dari permaisuri.
Pada tahun 1824, sebanyak 200 orang pasukan kavaleri mengawal Pakubuwana VI saat yang bersangkutan mengadakan tur atau inspeksi daerah. Tur tersebut dia adakan dua kali sebulan. Kedatangannya ditandai dengan ditabuhnya drum oleh pasukan kavaleri.
Kembali ke salvo, untuk upacara sunatan, salvo dilakukan sebanyak 3 kali dengan 5 pasukan keraton. Salvo disambut dengan meriam - meriam di keraton seperti meriam kaliber besar Kyai Kumba - Kumba dan Kyai Aswani Kumba di Pagelaran; meriam Kyai Bagus, Kyai Tulus, Kyai Bulus, dan Kyai Ketul di Sitihinggil semuanya sebanyak sekali tembakan. Untuk meriam Palayangan berbunyi berkali - kali bersama dengan meriam di Benteng Vastenburg.
Untuk yang terakhir, jika anak laki - laki yang lahir maka salvo dilakukan oleh prajurit jero sebanyak 1 kompi dan prajurit jobo 1 kompi pula. Salvo dilakukan sebanyak 3 kali. Salvo nantinya akan disambut dengan bunyi meriam sebanyak 13 kali atau meriam di Loji Gedhe (Benteng Vastenburg) juga ikut menembak sebanyak 13 kali pula. Jika anak perempuan yang lahir maka meriam yang dibunyikan sebanyak 9 kali dan meriam dari benteng tidak ikut menembak. Selain salvo dan tembakan meriam, dibunyikan pula gamelan kodhok ngorek di Sitihinggil.
Salvo juga dilakukan saat kunjungan Gouverneur Generaal Idenburg pada tahun 1915. Saat itu meriam keraton menyalak sebanyak 13 kali. Pasukan artileri keraton juga menembakkan meriam saat kelahiran Putri Beatrix pada tahun 1937.
Prajurit keraton juga ditugasi untuk berbaris mengawal upacara sunat serta penyerahan persembahan ke keraton. Untuk acara yang pertama diadakan pada tahun 1797, saat itu pasukan keraton bersama pasukan VOC yaitu girnadiyer (grenadier ?) melakukan penjagaan bersama. Untuk acara yang terakhir atau pada tahun 1866, tercatat pasukan Kasentanan, Jayatantaka, Rajegwesi, dan Setabel mengawal prosesi. Uniknya untuk pasukan yang terakhir, mereka membawa meriam dalam upacara tersebut.
Pasukan keraton sendiri juga ikut serta dalam upacara menghadapnya utusan dari Yogya. Saat utusan datang, elemen pasukan akan memberi hormat presenteer geweer kepada Residen yang ikut pada upacara. Untuk pasukan kavaleri keraton, mereka juga bertugas mengawal iring - iringan tamu.
Pada tahun 1870, pasukan keraton ditugasi untuk mengangkat perkakas dan barang milik Sunan serta membantu Wadana Gedhong Kiwa - Tengen beserta bawahannya mengolah masakan pada acara ulang tahun Sunan Pakubuwono IX.
Ada pula elemen pasukan yang ditugaskan untuk mengawal saat pelaksanaan pesta perayaan ulang tahun Sunan. Pada tahun 1856, pasukan Jayataka tercatat berbaris di Kamandhungan.
Pada saat kunjungan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke Solo, pasukan keraton tercatat ikut menyambut di Stasiun Kereta Api Balapan. Berikut rincian penempatan dan tugas masing - masing pasukan:

Pasukan Sarageni berbaris di halaman Srimanganti.
Sedangkan pasukan Wirahutama, Jayengastra, dan Prawiranom melakukan an hei (aan haie - haie d'honneur - barisan pengawal kehormatan) dari Kamandungan ke Kori Brajanala kemudian Supit Urang sebelah selatan menuju ke arah timur dan yang terakhir di depan Sasana Sumewa ke arah utara hingga ke Gladag.
Prajurit Jagasura an hei di sebelah utara Brajanala ke arah timur hingga di sebelah selatan Sasanasumewa.
Sebelah timur hingga selatan digunakan untuk prajurit Jawa (KNIL ?) an hei.
Prajurit Trunakembang dan prajurit Jawa 4 kompi an hei  di sebelah timur jembatan di depan Karesidenan ke timur hingga ke utara (di tengah Pasar Gede) sampai di perempatan Warung Pelem. Serta ke selatan sampai di perbatasan Kadipaten Mangkunegara.
Pasukan Prawiratamtama dan Miji Pinilih serta pasukan musik berbaris berjajar bersama dj depan sendiri. Dipimpin oleh Letnan Kolonel hingga ke Stasiun Balapan. Kemudian menempatkan diri di sebelah selatan Stasiun, sebelah selatan jalan berhimpitan ke arah selatan kemudian ke arah utara. Tamu berangkat memakai kereta dan saat kereta hampir sampai, diadakan drel (tembakan kehormatan) 3 kali. Saat Gubernur Jenderal turun dari kereta api, sekali lagi drel sebanyak 3 kali.
Prajurit yang an hei dan yang sedang berbaris akan hormat disertai musik kehormatan Wilhelmes pan Nasau (Wilhelmus van Nassau - lagu kebangsaan Belanda). Gubernur Jenderal nantinya akan hormat kepada lagu kehormatan tersebut.
Prajurit Prawiratamtama dengan Miji Pinilih yang berjajar langsung mengadakan drel di Stasiun Balapan. Saat kereta kehormatan sudah melaju, pasukan tersebut berjalan dibelakang kereta bersama dengan pasukan Jawa 4 kompi dan Pasukan Trunakembang. Setelah itu mereka semua langsung dhepileren (defilieren - defile) di halaman Karesidenan.
Setelah usai, pasukan Trunakembang menempatkan diri di bagian utara halaman.
Pasukan Prawiratamtama dan Miji Pinilih berbaris berjajar di depan sendiri yang kemudian menempatkan diri di halaman Kamandungan. Sebagian di perbatasan, sebagian lagi di bagian selatan.
Pasukan Jawa 4 kompi langsung berbaris an hei dari sebelah selatan Karesidenan sampai di depan Sasana Sumewa belok ke timur sampai ke Supit Urang sebelah timur.
Pasukan Wirahutama, Jayeng Astra, dan Prawira Anom kemudian berbaris di halaman sebelah timur.
Pasukan Jagasura yang an hei di di utara Brajanala pindah ke selatan. Yaitu an hei di sebelah selatan Sasana Sumewa yang kemudian berpindah lagi di jalan sebelah timur Sasana Sumewa hingga ke selatan jalan. Di sebelah timur jalan dipenuhi hingga Kedung Lumbu.
Sepulangnya Asisten Residen ... (tidak terbaca), pasukan keraton masuk ke dalam Sasana Sumewa sesuai peraturan.     

Seperti yang anda lihat, tidak tercatat kapan kunjungan tersebut dilaksanakan. Namun ada kemungkinan kunjungan dilakukan saat masa kekuasaan Pakubuwana IX jika melihat adanya pasukan Trunakembang.
Buku Sejarah Kutha Sala mencatat bahwa saat acara, pasukan berbaris berjajar dari depan gedung Pagelaran arah Timur. Mereka bertempat di Utara dan Selatan pohon beringin kurung Timur serta sebaliknya. Yaitu dari arah gedung Pagelaran arah barat di Utara dan Selatan pohon beringin kurung Barat. Tiap berdirinya 10 prajurit  disela sebuah rontek (bendera kecil) yang ditanam di tanah. Di tiap barisan tersebut terdapat para perwira. Kaptinmayor, dan kolonel yang saat memeriksa pasukan menaiki kuda teji (kuda besar) yang bertempat di Topengan Pagelaran. Para prajurit yang menyalakan meriam bersiap di dekat meriamnya.
Saat kavaleri pasukan masih mempunyai kuda, salah satu tugas mereka adalah pengawalan kereta jenazah Pakubuwana IX di Yogyakarta pada tahun 1893. Tercatat pasukan kavaleri dari Solo tersebut tiba dengan kereta api. Pada tahun 1905, kavaleri berkuda keraton sempat mengawal Pakubuwana X bersama tamu dari Amerika. Tamu yang bernama Charles Jasper Glidden yang bersama istrinya yaitu Lucy Emma Clegworth saat itu sedang berkeliling dunia dengan mengendarai mobil (Glidden Tour). Setelah Pakubuwana X menolak berkendara dengan Glidden di siang hari karena terik panas, mereka akhirnya berkeliling kota Solo pada sorenya. Dikawal oleh ratusan orang pribumi berkuda dan diterangi dengan obor, pemandangan arak - arakan saat itu terbilang fantastis. Karena pasukan keraton yang senantiasa harus mengawal di depan dan belakang mobil, kecepatan mobil hanya sebesar 4 mil/jam.
Mobil Napier Limited milik Glidden.
Sumber

Pasukan juga bisa diperintahkan untuk mengamankan ningrat keraton. Salah satu contoh pada tahun 1900 saat seorang pangeran gila dan harus diamankan. Pasukan keraton menjaga rumahnya dan senjata sang pangeran disimpan di keraton.
Saat wabah pes di Solo pada tahun 1912 - 1913, Mayor Dhokter Prawirawinata ikut serta dalam kegiatan medis.
Pasukan Keraton berjaga di rumah Patih
Sumber

Seorang Prajurit berjaga di Rumah Monyet saat Upacara Garebeg
Seorang sersan keraton kemungkinan dari kavaleri berdiri di tengah. 
Sumber

Upacara Penyambutan Gouverneur Generaal Jhr. Bonifacius Cornelis de Jonge
Di Stasiun Kereta Api Balapan
Ningrat tinggi keraton tiba dengan mobil di pelataran parkir stasiun

Pasukan keraton lengkap dengan panji Kyai Slamet atau Kyai Brekat sudah siap sedia

Kereta kencana sudah siap menjemput

Gouverneur Generaal de Jonge yang jangkung terlihat di kiri barisan.
Sedangkan Sunan Pakubuwana X berdiri di sebelah kanan lengkap dengan medali

Para tamu sudah masuk di dalam kereta.
Rombongan siap berangkat

Kereta Kyai Garuda Kencana yang kemungkinan ditumpangi oleh de Jonge - Pakubuwana perlahan bergerak

Kereta mulai bergerak cepat ke tujuan

Di belakang Kereta Kyai Garuda Kencana terlihat kereta yang kemungkinan adalah kereta milik Mangkunegara.
Kereta ini sendiri mirip dengan Kereta Kyai Condroretno.
Jika benar, maka kereta tersebut berisi Mangkunegara VII yang mungkin bersama dengan gouverneur Solo

Saat pemberontakan PKI tahun 1926, karena situasi yang genting acara Sekaten diperketat pengamanannya. Pasukan keraton ikut serta mengamankan bersama stadspolitieveldpolitie, dan Legiun Mangkunegara.
Berikut adalah video film dokumentasi acara Garebeg di Solo pada masa Pakubuwana X. Terdapat beberapa cuplikan pasukan keraton yang sedang melaksanakan prosesi upacara.

01:29 - Personel pasukan Panyutro terlihat menunggu.
01:46 - Salvo tembakan oleh pasukan Lebet yang dipimpin oleh seorang Sersan.
02:24 - Pasukan Kasepuhan sedang memainkan musik.
04:19 - Parade militer kejawen pasukan Lebet yang didahului oleh panji Kyai Santri / Kyai Brekat.
06:21 - Pasukan Lebet berjalan mendahului abdi dalem dan Sunan.
08:01 - Residen meninggalkan keraton yang dikawal oleh personel Lijfwachten Dragonder.
09:08 - Kolonel Purbanegara beserta Staf.
09:21 - Parade panji pasukan keraton.
10:06 - Pasukan musik Kasepuhan bermain musik.
10:16 - Pasukan Lebet berbaris mengikuti pasukan Kasepuhan.
10:47 - Pasukan musik Kasepuhan berbaris mendahului pasukan Jawi.
11:47 - Pasukan Lebet berbaris.
12:02 - Pasukan Jawi dan pasukan anak kecil berbaris.
12:20 - Pasukan Kasepuhan bermain musik dan mendahului pasukan Lebet.
13:06 - Pasukan Jawi dan pasukan anak kecil kembali berbaris.

Tentang film, keraton sempat mengabadikan upacara 40 tahun naik tahta Pakubuwana X pada tahun 1933. Dimana parade pasukan keraton diabadikan disitu. Uniknya film dokumentasi tersebut sempat dipinjamkan oleh keraton dan ditayangkan setahun kemudian di Bodjonegoro Societeit.
Untuk upacara Garebeg pada masa itu, kita bisa melihat kesaksian seorang Yankee (Amerika) pada  Maret 1935. Saat itu upacara garebeg dihadiri oleh beberapa turis dari Amerika. Meski mereka tidak bisa memasuki keraton namun mereka disediakan tempat duduk di pintu masuk keraton. Para tamu sudah siap bersenjatakan kamera dan buku notes. Kesaksian ini ditulis oleh seorang turis berusia 27 tahun. Pemilik pabrik kalengan daging di Chicago.
Kami datang dari Yogya untuk melihat keraton di Solo. Akan tetapi di pagi hari, kami mendengar dari pemilik hotel, hal tersebut tidak memungkinkan. Ini dikarenakan adanya upacara pribumi yang megah, mereka menyebutnya 'Groote Bek'. Berkat kemurahan hati seorang wartawan, dia menyarankan kepada kami melalui manajer hotel untuk datang di pintu masuk keraton, bahwa kami akan melihat sesuatu.Pada jam 08:30, kami berkendara dengan mobil dari hotel. Setelah barang sesaat kami tiba di lapangan terbuka yang luas. Tidak ada rumput namun terdapat pohon tua besar dengan bendera kecil dimana - dimana dan padat dengan penduduk pribumi. Setelah melalui gerbang besar yang dijaga oleh dua singa batu, kami tiba di jalanan beraspal yang dijaga ketat oleh prajurit 'native' berseragam upacara.Karena teman wartawan kami, mobil diperbolehkan masuk dan tiba di pintu masuk keraton. Di sini para pengawal kehormatan pribumi berseragam mantel merah scarlet, memakai sarung yang lucu (dodot) yang dibawahnya diteruskan celana merah scarlet. Kami perhatikan para perwira hampir semuanya memakai medali kehormatan. Kemudian kami bertanya kepada sang wartawan, apakah para perwira tersebut ikut dalam 'great war' (Perang Dunia I), dia menjawab "tidak". Saat kami menyinggung bagaimana mereka mendapat medalinya, dia tidak menjelaskan lebih rinci. Dekat tempat kami berdiri, 6 buah meriam yang sangat tua disiapkan yang nantinya ditembakkan paginya. Tidak terdengar kecelakaan yang terjadi perihal meriam tersebut.Komando para perwira dilaksanakan dengan sangat rapi. Sedangkan berbagai sinyal dan nantinya musik dari pasukan tersebut terdengar apik.Campuran kultur timur dan barat di pasukan ini sangatlah menarik. Kemudian kami melihat sebuah divisi dengan seragam mantel biru dan berlis merah, memakai sarung dan bersenjatakan senapan eropa serta keris, di dalam keraton.Tiap pribumi (mereka mengenakan topi yang seperti ember terbalik) berlutut saat memasuki serambi muka, kemudian mereka jalan berjongkok. Kami mencobanya pada malamnya dan kami bisa melakukannya!Kami melihat berbagai macam payung (terbuat dari bambu), pemandu kami menjelaskan bahwa tiap perwira dan pejabat pribumi mempunyai berbagai macam warna payung berbeda.Berbagai seragam berwarna merah scarlet, biru, hijau dan hitam. Kami sangat menyesal tidak bisa mengabadikan upacara tersebut dengan kamera. Tiba - tiba muncul sinyal dan komando, kemudian pasukan memposisikan diri mereka. Beberapa individu penting (patih) disambut dimana siapapun yang ada di serambi muka melakukan semacam doa (sembah) untuk bukti (setia). Kami kemudian sadar bahwa kami berada di negara ketimuran sebab sifat mereka terlihat jelas. Dimana para prajurit saat bebas, mereka bersila di jalan. Namun kedamaian tersebut tidaklah lama karena sinyal lainnya dibunyikan dan untuk yang kali ini gubernur tiba dan dengan ningrat Surakarta di belakangnya. Sunan adalah 'royal highness'.Bendera panji dikibarkan diperuntukkan kepada perwakilan Ratu Wilhelmina. Kemudian mobil datang bersama tamu yang berpakaian hiasan emas.Kami melihat gubernur selalu dipayungi tiap saat meski tidak ada matahari. Di serambi muka, setelah gubernur para tamu disambut. Wartawan kami menjelaskan bahwa payung tersebut adalah simbol kehormatan dan bukan untuk melindungi dari matahari.Kemudian kami berpindah ke sisi lain keraton. Dari situ kami bisa melihat lebih jelas tentang apa yang terjadi di dalam. Musik dari gamelan mengiringi tamu pribumi. Diikuti dengan gunungan yang dihiasi nan tinggi, dibawa oleh pesuruh rendahan, dimana upacara tersebut dilanjutkan ke masjid.Kami mendengar bahwa 1 dari gunungan tersebut dimaksudkan kepada gubernur (gunungan adalah makanan yang ditumpuk dalam bentuk gunung).Sorenya para tamu kembali ke rumah upacara yang sama.

Lembaran Rencana Acara Sunatan yang Akan Dijaga Pasukan Keraton
Pada arsip ini dijelaskan bahwa acara sunatan putra Raden Mas Surya Guritna yang diadakan pada malam Rabu tanggal 2 Juli 1941 ini diikuti oleh 42 prajurit keraton

Berbicara tentang musik kehormatan, pasukan keraton mempunyai beberapa musik kehormatan antara lain:

  • Wilhelmus van Nassau 





  • Wien Neerlands Bloed 



    • Gending Babar Layar (lagu ini disamakan statusnya dengan Wien Neerlands Bloed. Namun saat upacara tertentu, dikhususkan untuk Gusti Kangjeng Ratu Pembayun). 


    Salah satu irama musik yang dipakai oleh pasukan korps musik keraton adalah "Baris terik tempe, trik dong dele gosong ... ". Irama ini sudah digunakan sejak zaman Pakubuwana III.
    Selain musik, penghormatan juga diberikan melalui suara genderang alias melalui prajurit berpangkat tamboer. Penghormatan tersebut antara lain:
    1. Suara genderang memakai nada Wilhelmus van Nassau
    2. Sinyal parade
    3. Sinyal berkumpul 2 kali 
    4. Sinyal berkumpul 1 kali 
    5. Sinyal siap di tempat 3 kali 
    6. Sinyal siap di tempat 2 kali 
    7. Sinyal siap di tempat 1 kali

    Tiap perayaan naik tahta Sunan Pakubuwana X, selalu dirayakan dengan upacara parade. Entah dari jubillee Sunan pada tahun 1932 atau upacara tumbuk seperti yang ditulis dengan detil dikoran Soerabaijasch Handelsblad 14 Oktober 1936 ini. Tertulis bahwa saat upacara Tumbuk yang juga perayaan ulang tahun Pakubuwana X ke 72 tahun, parade pasukan keraton disebut megah.
    Upacara dilaksanakan di Alun - Alun Utara dimulai pada pukul 7 pagi. Akses jalan sudah ditutup kecuali untuk para tamu undangan. Tiap 10 meter, polisi berdiri di tiap sisi jalan untuk menertibkan "nontonners" (penonton) yang berdatangan. Di lokasi yang sama, piekenier (pasukan penombak) dengan pakaian merah scarlet mereka yang terkenal sudah siap sedia. Personel penombak tersebut menempati rute parade yang akan dilewati. Tepat pada pukul 07:15, musik dimainkan dan pasukan mulai memasuki lokasi parade dengan prabot gedhe. 
    Yang paling pertama muncul adalah penunggang kuda yang berpakaian militer jawa "Pradjoeritan". Dia juga memakai topi khas komandan pasukan keraton. Orang tersebut adalah Pangeran Purbanegara. Disini dia diikuti oleh stafnya yang juga menunggangi kuda. Berikutnya tiap pasukan berbaris dengan seksi musiknya di bagian muka. Komandan pasukan berada di depan pasukan.  
    Pasukan yang muncul pertama adalah 3 kompi pasukan pengawal. Seragam hitam - merah dibawah pimpinan Padmowinoto. Seragam biru - merah dan hijau - kuning dibawah komando Gondowinoto. Dua pasukan pertama bersenjatakan senapan. Pasukan hijau - kuning bersenjatakan pedang. 
    Berikutnya pasukan reguler datang berbaris. Pasukan infanteri dibawah pimpinan mayor Pringgowinoto dan Dipowinoto. Pasukan dilengkapi dengan bayonet di senapan mereka. Kemudian datang pasukan artileri dibawah pimpinan kaptin Jaksodewo. 
    Menyusul kemudian pasukan compagnie recruten (kompi rekrutan) dengan pedang terhunus. 
    Kemudian pasukan yang dipimpin oleh Djojomardjojo yaitu "horse guards" yang berpakaian merah scarlet serta topi dengan warna yang sama pula.  
    Disusul pasukan piekenier dengan seragam yang sama dengan pasukan sebelum mereka.  
    Barisan parade ditutup dengan pasukan pemanah (pasukan Nyutro) yang dikomandoi oleh Atmowidakto. Pasukan tersebut juga membawa regu musik mereka sendiri yaitu gamelan.  
    Setelah berparade pasukan menempatkan diri dan berikut adalah urutannya. Di muka panggung, sebelah kiri dan kanan yaitu pasukan pemanah dan horse guardsDi sebelah barat yaitu pasukan pengawal dengan urutan diatas tadi. Di sebelah utara dan timur, bertempat pasukan infanteri, artileri, dan rekrutan.  
    Kemudian mobil yang membawa para tamu datang.  
    Pada pukul 07:50, komando In Orde van Parade dilengkingkan yang dilanjutkan dengan In Orde van Inspectie dimana Purbanegara menginspeksi pasukannya.  
    Muncul mobil yang dikawal oleh pasukan lijwachten dragonder. Mobil tersebut ditumpangi oleh Mangkunegara VII serta istrinya yaitu Ratu Timur. Mereka juga ditemani oleh beberapa perwira legiun di mobil berbeda.  
    Tidak lama setelahnya pemimpin Kerajaan Karangasem (Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem) tiba di lokasi.  
    Kemudian sangkakala dari terompet menandai kedatangan gouverneur. Purbanegara kemudian menuju ke gapura utara dengan ajudannya untuk menemui sang tamu maha penting tersebut. Pasukan musik keraton langsung memainkan Wilhelmus. Panyompret dan panambur langsung memainkan sinyal kehormatan.  
    Dikawal oleh pasukan kavaleri, kereta kehormatan yang ditumpangi gouverneur M. J. J. Treur beserta istrinya muncul. Diikuti dengan mobil yang ditumpangi oleh generaal majoor Gustav Adolf Ilgen serta generaal majoor Aleid Gerhard van Tricht. Sayang Komandan KNIL yaitu luitenant generaal Murk Boerstra tidak dapat hadir karena sakit. Bahkan yang bersangkutan juga tidak bisa menghadiri wapenfeest di stadion Sriwedari nantinya.  
    Belum sempat para tamu duduk di kursi tribun, musik gamelan dari pasukan keraton sudah dimainkan. Yang berarti pertanda Pakubuwana X akan datang. Kedatangan sunan kesepuluh ditandai dengan munculnya barisan "Poenokawans" yang bertelanjang dada yang disusul oleh abdi dalem berpakaian merah scarlet dan hitam. Didahului oleh piekenier, datanglah kereta kuda Kyai Manik Molo yang ditarik oleh 4 kuda Australia berjambul oranye. Kereta tersebut dikusiri oleh Specht yang berpakaian merah scarlet dan penuh dengan hiasan emas disertai pula oleh motif hiasan segitiga ukuran besar. Kereta dikawal oleh petinggi keraton yang menaiki kuda dan sebagai pembuka pintu yang berjalan kaki, Pangeran Aryo Mataram.  
    Sunan Pakubuwana X ditemani oleh istrinya yaitu Ratu Emas dan putrinya yaitu Ratu Pembayun. Dia mengenakan seragam luitenant generaal KNIL. Setelah sambutan dilakukan di tribun beserta dengan tamu penting dilaksanakan, komando In Orde van Inspectie dilengkingkan pada pukul 08:10. Pangeran Purbanegara memimpin gerakan hormat ke tribun. Inspeksi yang dilaksanakan oleh sang sunan, yang terakhir kali dilakukan 8 tahun lalu, akan segera dimulai. 
    Acara dimulai dengan naiknya Treur bersama Pakubuwana X ke gala koets (kereta kuda terbuka). Diikuti oleh kedua generaal majoor yang ditemani dengan Pangeran Kusumobroto berseragam mayor di kereta kuda tertutup. Untuk kereta kuda ini, para pesuruh berseragam merah anggur dan hijau. Berikutnya barisan kavaleri menyusul yang diikuti oleh kereta kuda yang ditumpangi oleh Purbanegara dan Aryo Mataram. Mereka disusul oleh para staf pasukan. Prosesi inspeksi bergerak di sepanjang barisan pasukan. 
    Alunan musik tidak ketinggalan dalam inspeksi tersebut. Mars militer Belanda yang riang diperagakan disini. Kinerja komandan pasukan musik keraton yaitu Wignyosuworo patut diapresiasi. Ratu Emas, Ratu Pembayun dan tamu lainnya menonton dari tribun. 
    Setelah inspeksi usai, parade dimulai yang diawali dengan parade militer adat jawa. Tepat pada pukul 08:40, prajurit Nyutro bergerak sesuai dengan alunan gamelan. Kondisi untuk parade sangat ideal. Tidak ada matahari terik dan langit agak mendung. Semuanya jelas untuk dilihat.  
    Kemudian ketujuh pasukan dengan formasi 8 orang dimuka berbaris dengan lamban, "berdansa" bersama komandannya. Impresi dari parade kejawen pasukan keraton dimana warna hijau, kuning, hitam, merah, biru, putih dari seragam pasukan membentuk seperti halnya pelangi. Harmoni secara keseluruhan. Angin yang agak kencang membuat sentir (lampu lentera) yang dibawa pasukan menari - nari membuat penampilan semakin lebih atraktif. Di depan tribun, pasukan Nyutro memasang busur panah mereka di tubuh, kepala ditengokkan ke arah kanan. Kemudian pasukan tiap pasukan akan melewati tribun. Sang komandan berlutut memberi hormat. Komando singkat diberikan dan pasukan di depan tribun berhenti sejenak. Kemudian seseorang melakukan gerakan 1/4 putaran sebanyak 4 kali. Ini memberi kesan cantik dari tiap putaran. Kemudian parade dilanjutkan dan pasukan melewati tribun dilanjutkan pasukan lainnya. Banyak penonton sangat mengapresiasi parade militer kejawen tersebut. 
    Kemudian giliran parade gaya barat dimulai. Komando geeft acht, voorwarts marsch melengking ditemani dengan mars musik saat pasukan mulai bergerak. Pasukan bergerak dengan rapi tanpa cela. Fokus dan dalam jarak yang sama. Kepala mereka menengok ke arah kanan saat melewati tribun. Badan kaku saat berparade. Pangeran Purbanegara kemungkinan sangat bangga kepada anak buahnya. Ini adalah parade yang memang harus ditampilkan. 
    Seperti halnya upacara saat kedatangan, tamu penting mulai pulang. Dengan urutan Pakubuwana X dengan gouverneur, assisten-resident Burgerhoudt, Ratu Emas dengan assisten-resident terpilih Boots dan Ratu Pembayun dengan assisten-resident Klaten yaitu Ruys. Parade pasukan keraton dinyatakan selesai.
    Acara tersebut unik karena juga dihadiri oleh wartawan fotografer wanita. Mereka menunggu kehadiran sunan.
    Menurut artikel majalah Biwadhanata pada tahun 1936, pasukan keraton mempunyai tugas yaitu penjagaan, baris berbaris, dan penguasaan teori - praktek perang. Untuk penjagaan sendiri semua hierarki pasukan bertanggung jawab termasuk didalamnya pasukan musik. Tempat penjagaan sudah ditetapkan pula. Beberapa lokasi yang dijadikan tempat berjaga ialah daerah Purbonegaran / Purbanegaran, keraton, kantor keraton, Marcokundo, Sitihinggil dan Panti Pidono. Selain itu ada pula Brandpiket atau piket pemadam kebakaran.
    Pasukan keraton selain melakukan parade di Alun - Alun Utara, juga di Stadion Sriwedari. Seperti saat perayaan tumbuk kesembilan Pakubuwana X di tahun 1936.
    Parade Pasukan Keraton di Alun - Alun Utara
    Terlihat pasukan mengenakan prabot gede

    Selain perayaan hari ningrat Belanda maupun Sunan, pasukan juga ikut serta dalam pemakaman baik sesama ningrat Jawa ataupun orang Belanda. Saat pemakaman Paku Alam VII di tahun 1937. 4 perwira tinggi pasukan keraton menjadi penggotong keranda. Saat meninggalnya G. J. Rijken pada tahun 1938, pasukan keraton bersama dengan pasukan musik ikut serta menemani Pakubuwana X yang melayat.
    Pasukan keraton sendiri sudah pernah dipakai dalam prosesi pernikahan keraton. Pada Agustus 1891 saat prosesi pernikahan 3 orang sekaligus yaitu Raden Ayu Kusumodilogo, Raden Ayu Dewokusumo dan Raden Ayu Purbaningrat, tercatat 500 orang pasukan keraton ikut serta. 300 orang sebagai pembuka jalan dan 200 orang didepan arak - arakan pengantin. Itu belum ditambah 40 orang pasukan Nyutro dan pasukan musik keraton.
    Saat kunjungan tamu penting, Pakubuwana X juga tidak segan memperlihatkan pasukannya. Seperti saat kongres PPBB (Persatuan Pegawai Bestuur Bumiputera) yang diadakan di Solo pada tahun 1934. Salah satu acaranya adalah kunjungan anggota kongres dan para undangan ke keraton. Saat itu mereka mengunjungi ruang harta dan gudang senjata. Setelah itu mereka disuguhi dengan cemilan di pendopo. Bersama dengan Pakubuwana X beserta istrinya yaitu Ratu Mas, mereka semua melihat latihan perang pasukan keraton yang dibarengi dengan parade. Tidak ketinggalan pasukan Nyutro lengkap dengan panahnya ikut serta. Atraksi paling memukau adalah parade pasukan dengan tulisan PPBB.
    Selain tamu pribumi, tamu asing juga tidak ketinggalan dipertontonkan eloknya pasukan keraton. Pada 7 April 1933, keraton kedatangan tamu yang tidak biasa, yaitu Theodore "Ted" Roosevelt III. Anak Presiden Amerika ke-26 Theodore Roosevelt Jr. tersebut sedang berkunjung ke Hindia Belanda. Saat itu sang mantan Gubernur Jenderal Filipina beserta istrinya sempat menginspeksi pasukan keraton.
    Belanda sendiri seakan alergi atau lebih tepatnya tidak akan mengerahkan pasukan keraton untuk urusan militer murni jika tidak dalam kondisi terpaksa. Seperti yang terlihat saat latihan perang gabungan di dekat kota Surakarta dimana dalam 3 peristiwa berbeda yaitu pada tahun 1888, 1937, dan 1939 pasukan keraton tidak diikutkan. Keraton hanya menyumbangkan kontingen musiknya untuk manggung di kantor staf latihan gabungan di Purwosariweg pada tahun 1937.
    Pasukan Infanteri dengan Seragam Garoet saat Inspeksi

    Pasukan Infanteri Di Stadion Sriwedari Solo

    Pasukan Kavaleri di Stadion Sriwedari Solo

    Pasukan Kavaleri Keraton Masa Pakubuwono XI
    Terlihat pasukan difoto di alun - alun kidul (selatan) keraton.
    Perhatikan pennant (umbul) pada tombak yang memakai warna merah - putih dan bukannya standar KNIL yaitu merah, putih dan biru.

    Pasukan Infanteri Keraton Masa Pakubuwono XI
    Terlihat Pangeran Purbanegara hormat ke arah kamera.
    Formasi yang digunakan pasukan infanteri di foto yang bertempat di alun -  alun kidul tersebut adalah "In Dubbele Colonne"  (Orang Keraton menyebutnya "In Dhubel Koloni" atau dalam Bahasa Indonesianya adalah Kolom Ganda)

    Pasukan Wielrijder (Pasukan Sepeda) Masa Pakubuwono XI
    Uniknya pasukan keraton juga mempunyai pasukan Wielrijder atau orang keraton menyebutnya dengan "Wilreyer" seperti pasukan KNIL ataupun Legiun Mangkunegara

    Pasukan Musik Keraton Masa Pakubuwono XI
    Seperti halnya ketiga pasukan diatas, pasukan diambil gambarnya di alun - alun kidul.
    Pasukan memakai formasi In Carre (Orang Keraton menyebutnya "In Karre") atau formasi kotak.
    Terlihat pasukan dipimpin oleh Eerste Luitenant Raden Mas Panji Wigyasuwara

    Selain pasukan keraton, ada juga pasukan KNIL yang memang ditugaskan untuk mengawal Sunan. Seperti kompatriotnya yang mengawal Sultan Kasultanan Yogyakarta, pasukan ini dinamai "Lijfwachten Dragonder".
    Personel lijfwachten dragonder sedang mengawal kereta jenazah Pakubuwono X.
    Seorang brigadier (kopral kavaleri) atau wachtmeester (sersan kavaleri) berada di sebelah kanan

    Jika anda melihat prajurit yang memakai seragam garoet dan mengawal Sunan atau Sultan saat upacara resmi dan mereka memakai sepatu bot, kemungkinan besar mereka adalah pasukan Lijfwachten Dragonder.
    Menurut buku Merdeka atau Mati, terdapat beberapa perwira pasukan yang ikut serta dalam pihak Indonesia. Salah satunya adalah Jatikusuma yang terluka saat penyerbuan markas Kempeitai Solo. Saat kejadian tanggal 13 Oktober 1945 tersebut, dia terluka ada bagian pelipis.
    Selain individu, persenjataan pasukan keraton dipakai oleh pasukan Tentara Pelajar. 
    Pada tahun 1949, pasukan keraton yang berjaga di dalam Baluwarti dilucuti oleh Belanda. Kedudukan mereka digantikan oleh "Pulisi Keamanan" dan "Pradjurit Pendjaga Keamanan". Tindakan Belanda ini membuat prihatin Pakubuwana XII dan memunculkan desas desus di kalangan penduduk Baluwarti. Bagian kepatihan keraton alhasil mengeluarkan pengumuman pada tanggal 19 Juli 1949 yang tujuannya untuk menenangkan masyarakat. Mereka menjelaskan bahwa pelucutan ini tidaklah politis melainkan hanya tanggung jawab militer Belanda dalam menjaga keamanan. Kepatihan juga meminta penduduk untuk waspada dan ikut menjaga keamanan seperti yang sudah diajarkan oleh "Pradjurit Pendjaga Keamanan".
    Teks Penjelasan Pihak Kepatihan tentang
    Pelucutan Pasukan Keraton oleh Belanda

    Setelah pembubaran, pasukan keraton sekarang hanya berstatus sebagai pengawal seremonial. Namun bekas prajurit keraton sempat dalam waktu sementara bertugas menjaga keraton pada Maret 1955. Nantinya pasukan seremonial keraton bertugas merayakan acara keraton seperti garebeg. Sempat pula, pasukan keraton ditugaskan untuk mendukung acara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Solo. Contohnya upacara parade Piala Adipura Kencana pada awal tahun 1990-an yang diikuti oleh ayah saya.
    ... ayah saya disini bukan sebagai pasukan keraton hanya sebagai Camat. hehehe

    Pasukan Keraton saat Upacara Gunungan Idul Adha



    <--- Daerah Konflik                                                                   Medali dan Tanda Penghargaan --->

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar