Oude Indonesie

Oude Indonesie
Nederland oost-indiƫ hier komen we!

Zoeklicht

Zoeklicht
We zullen de kolonie te verdedigen!

Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?

Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?
Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?

Kamis, 31 Maret 2016

Happy Birthday ! - Sahlan & Siti Mas'adah


Untuk post Happy Birthday kali ini bisa dibilang paling unik. Bukan soal tanggal kelahiran melainkan ulang tahun perkawinan. Pasangan A. Sahlan dan Siti Mas'adah yang merayakannya disini. Mereka menikah pada masa Revolusi Kemerdekaan pada 31 Maret 1947 dan merayakannya dengan foto bersama pada tahun 1957. Berikut foto perayaan ulang tahun pernikahan mereka beserta foto-foto lain yang diambil sebelumnya.
Terlihat Sahlan sangat necis disini dan berbeda dengan istrinya yang berpakaian sederhana

Untuk foto kedua, Siti Mas'adah menggendong anak terbaru mereka

Foto keluarga Sahlan-Mas'adah beserta ke-5 anak mereka pada 26 Februari 1956. Foto disini termasuk anak mereka yang terbaru yang bernama Makarim

Foto keempat, Makarim tepat berusia 1 tahun pada 22 Januari 1957. Sangat unik melihat emblem pada baret Makarim yang berupa Garuda Pancasila

Untuk foto kelima adalah foto yang paling tua yaitu pada 7 Juni 1952. Terlihat anak yang dimiliki pasangan Sahlan-Mas'adah masih 3 anak dan belum 5 anak

Kita bisa melihat bahwa Sahlan-Mas'adah sangat memperhatikan kenangan keluarga mereka yaitu dengan sering berfotonya mereka disini. Berkat mereka pula, kita juga bisa melihat berbagai macam perbendaharaan bingkai foto yang dipakai disini. Salah satu foto bahkan menyertakan marking dari studio foto yaitu "Wie Tjin" dari Solo. Dilihat dari namanya, studio foto tersebut kemungkinan besar milik seorang Tionghoa.
Keunikan lainnya selain bingkai-bingkai foto disini adalah tidak urutnya penomoran disini. Tidak diketahui apa yang menjadi standar penomoran disini. Tetapi yang pasti meskipun foto terlihat biasa namun foto keluarga disini dapat dibilang unik.


Usia: 1952 - 1957

Rabu, 30 Maret 2016

Personal Tale - BD TNI - Ito Heiho

BD disini adalah kependekan dari "Buku Dinas"
Untuk Heiho adalah seorang prajurit satu bernama Soepardi. Soepardi yang lahir di Temanggung Jawa Tengah pada 5 Agustus 1928, seperti koleganya awalnya bergabung dengan Heiho. Bedanya dia mendapat pangkat lebih rendah yaitu Ito Heiho dan berada di Palembang. Pada masa Revolusi Kemerdekaan, dia bergabung dengan kelaskaran dan ditempatkan bersama pasukan TNI. Seluruh pengabdiannya dia berperan sebagai anggota regu. Jabatan yang mengingatkan kita kepada sesama laskar yang sempat saya muat disini. Selain itu pula, dia berpindah-pindah tempat dari Tegal, Magelang, hingga Wonosobo. Hingga pada akhirnya saat terjadi perpindahan kedaulatan, dia akhirnya diterima menjadi prajurit TNI secara resmi. Dia mendapatkan pangkat yang sama saat dia menjadi laskar, yaitu Prajurit Dua dan nantinya dia mendapatkan promosi jabatan menjadi Prajurit Satu.
Sumber
Bisa dibilang karir Soepardi biasa-biasa saja setelah bergabung dengan TNI, namun ada satu peristiwa menarik terjadi disini. Kejadian tersebut terjadi pada 12 Juli 1954, dimana saat itu Soepardi terluka saat mengikuti Operasi Gerakan Guntur I di Pekalongan, Jawa Tengah. Kaki Soepardi saat itu tertembus peluru dari pasukan lawan yaitu DI/TII pimpinan Amir Fatah. Kejadian tersebut terjadi di tepi sungai Sumilir. 
Berikut adalah buku dinas Soepardi lengkap dengan seluruh halamannya meskipun beberapa diantaranya kosong. Mengapa saya memperlihatkan beberapa halaman kosong disini? Agar kita bisa tahu isi keseluruhan buku dinas tersebut.
Kover buku dinas.
Buku dinas ini berukuran 11 cm x 14 cm

Halaman pertama yang selain menampilkan Garuda Pancasila juga menampilkan model buku dinas yaitu "Model Pres 55", nomor "07672" yang dicoret menjadi "86062" yang kemungkinan nomor urut cetakan buku, nama percetakan buku yaitu "Express" dan dilengkapi dengan nomor "2772", serta stempel Kepala Staf 

Halaman berikut menampilkan Sumpah Tentara

Berikutnya adalah pemberitahuan tentang penggunaan buku beserta foto Soepardi lengkap dengan cap tiga jari tangan dan tanda tangan. Kita juga bisa mengetahui bahwa Soepardi memiliki nomor urut "141617"

Keterangan singkat sang pemilik buku yaitu:
  1. Nomor urut
  2. Nama lengkap
  3. Pangkat
  4. Tempat lahir
  5. Tanggal kelahiran
  6. Agama
  7. Suku bangsa
  8. Tinggi badan serta golongan darah
  9. Warna mata dan warna kulit
  10. Tanda bagian tubuh yang mudah dilihat untuk identifikasi
Kita bisa melihat bahwa bekas luka di kaki kanannya berbekas dan menjadi penanda identifikasi.
Berikutnya adalah keterangan kesatuan Soepardi saat itu. Yaitu dia masuk dalam kesatuan infanteri, divisi Diponegoro, Brigade Pragala, Batalyon 427, dan Kompi IV.
Pada halaman 7, kita bisa melihat keterangan singkat keluarga Soepardi. Dari ayah dia yang bernama Soekandar berumur 51 tahun bertempat tinggal di Temanggung. Uniknya untuk ibunya, tidak diterangkan nama aslinya. Hanya B. Sukandar atau Bu Sukandar. Dia berumur 50 tahun dan bertempat tinggal di daerah yang sama dengan suaminya. Sedangkan untuk istrinya bernama Temu dan berumur 18 tahun. Sayang untuk informasi alamat sebelum kawin serta mertua, Soepardi tidak mengisinya.
Untuk anak sendiri, Soepardi menuliskan bahwa dia memiliki 2 orang anak yaitu Boedijono yang lahir pada 6 Januari 1952 dan Sijami yang lahir pada 22 Mei 1954. Keduanya merupakan anak sah dari pasangan Soepardi - Temu

Untuk halaman berikutnya, karena kondisi buku yang sudah tidak sempurna lagi maka urutan halaman sudah tidak urut untuk di-scan disini.
Pada halaman 8, kita bisa melihat riwayat pendidikan Soepardi, yaitu SR atau Sekolah Rakyat selama 6 tahun hingga tamat. Dia tidak mengikuti pendidikan militer apapun. Selain itu terdapat pula keterangan surat pengangkatan Soepardi sebagai tentara TNI. Kita bisa melihat sebelum bergabung dengan TNI, dia menjabat sebagai seorang laskar dan mempunyai gaji sebesar R 60 perbulan. "R" disini adalah singkatan untuk "Rupiah". Terdapat kolom catatan ikatan dinas dan tidak terisi pula.
Untuk halaman 17, kita bisa melihat kolom riwayat penyakit yang pernah diderita oleh Soepardi. Kolom yang kosong disini memberikan arti bahwa Soepardi termasuk tentara yang bisa menjaga kesehatannya selama bertugas

Halaman 18 berisi kolom catatan mengenai suntikan dan obat cacing

Halaman 14 mengenai kolom hukuman, kolom yang kosong menandakan Soepardi prajurit yang berdisiplin.
Sedangkan untuk halaman 11 adalah kolom kursus yang pernah diikuti oleh pemegang buku dinas

Untuk halaman 12, catatan tentang cuti. Tercatat Soepardi mengambil 2 kali cuti pada tahun 1952 dan 1953. Keduanya menuju Temanggung, kemungkinan saat itu Soepardi mengunjungi kedua orang tuanya.
Untuk halaman 13, mengenai catatan penghargaan yang diterima. Dengan kosongnya kolom tersebut maka Soepardi tidak mendapatkan medali apapun saat dia mengikuti operasi penumpasan DI/TII

Pada halaman 16, terdapat catatan kecelakaan, luka atau meninggal sang pemilik buku. Kita bisa melihat penjelasan bagaimana Soepardi bisa mendapatkan luka kakinya saat operasi Gerakan Guntur I.
Untuk halaman 9 terdapat riwayat hidup lengkap Soepardi hingga buku ini dibuat

Berikut catatan riwayat hidup lengkap Soepardi, Dari tahun 1944 dia bergabung dengan Heiho hingga tahun 1957 saat dia mendapatkan kenaikan gaji di TNI menjadi 82,50 rupiah

Pada halaman 10 terdapat catatan dinas Soepardi. Ada 3 catatan yang diawali pada tahun 1951 saat dia mendapatkan penetapan status sebagai prajurit TNI

Halaman 15 tentang catatan perubahan keluarga. Kita bisa melihat selain Boedijono dan Sijami, ada tambahan anak ketiga pada tahun 1956 yaitu Prajitno yang lahir di Salatiga

Pada halaman 19, kita bisa melihat kolom pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter



Halaman 20 mengenai kacamata

Halaman 21 mengenai pengobatan gigi

Dan untuk halaman terakhir atau halaman 22 terdapat daftar isi buku.
Selain itu, di setiap buku dinas, terdapat amplop mini yang berisikan foto atau klise film untuk indentitas pemilik

Namun uniknya, untuk Soepardi disini klise film bukanlah milik dia. Melainkan ...

Klise film seorang wanita, kita bisa mengasumsikan bahwa wanita disini adalah istrinya sendiri yaitu Temu.
Talking about romantic soldier in here

Kover belakang buku

Setelah semua penjelasan disini, kita bisa mendalami dan mengerti seperti apa buku dinas milik TNI pada masa lalu. Selain itu pula, kita juga bisa melihat bagaimana hubungan antara Soepardi dan Temu sendiri. Meskipun mereka berbeda umur 9 tahun, namun ini tidak menjadi penghalang bagi Soepardi untuk tetap mencintai istrinya. Yang terbukti dengan disimpannya klise film istrinya didalam buku dinasnya.
Untuk usia buku sendiri, sayangnya tidak terdapat bukti tertulis kapan buku ini dikeluarkan dan diberikan kepada para tentara TNI. Namun untungnya masih ada berbagai jalan untuk mengidentifikasi usia buku ini. Yang pertama adalah dari tulisan "Model Pres 55", kita bisa mengasumsikan bahwa nomor tersebut bisa berarti tahun keluaran buku. Yaitu tahun 1955. Asumsi penunjang lainnya adalah catatan anak Soepardi pada awal buku, yang menunjukkan bahwa pada tahun 1954 dia masih mempunyai 2 orang anak. Sedangkan pada halaman catatan perubahan keluarga, pada tahun 1956 sudah terdapat tambahan anak dan tulisan menggunakan tinta warna berbeda. Ini membuktikan bahwa buku ini keluar pertama kali pada tahun 1955. 


Usia: 1955.

Rabu, 23 Maret 2016

Pentjak

Salah satu buku yang paling unik yang pernah saya punya. Sempat saya singgung sedikit di post ini, buku ini sudah pasti menjelaskan tentang pencak silat. Pencak silat disini tidak tentang sejarahnya, melainkan bagaimana pembaca bisa melakukan silat yang benar. Ya, pencak silat dimasa Jepang!

Dari kover buku, kita bisa melihat bahwa buku ini adalah buku yang tidak biasa. Gambar kartun seseorang yang sedang melakukan jurus pencak silat. Uniknya pakaian yang digambar adalah pakaian khas Jakarta atau Betawi.
Sumber

Mengapa saya bilang unik, nanti akan saya jelaskan dibawah.
Untuk halaman muka, lagi-lagi kita disambut oleh sebuah gambar kartun. Ini menjadi penanda bahwa buku ini akan banyak memuat gambar seperti ini. Buku ini dikarang atau disusun oleh duet Soegoro dan Saksono. Kita lihat pula bahwa buku ini adalah cetakan kedua dan disertai dengan ijin dari Pemerintahan Militer Jepang. Jika anda penasaran dengan apa maksud ijin tersebut, anda bisa mengecek di link paling atas post ini. Selain itu pula kita bisa melihat nama pemilik lama buku ini. Romeo dari Jetak, Wonorejo di Gondangrejo. Daerah tersebut berada di Karanganyar, Jawa Tengah.

*Update 18 April 2016:
Sepertinya kita bisa mendapatkan petunjuk kapan cetakan buku pertama Pentjak, dari iklan berikut. Apakah anda bisa melihat angka disebelah kanan? 2602 alias 1942 dan jika kita melihat ada beberapa buku karangan orang Belanda, maka bisa kita asumsikan buku Pentjak sudah terbit pada masa Belanda.

Untuk kata pengantar sendiri, disampaikan oleh Balai Pustaka sendiri. Uniknya, sekilas terdapat bayangan jika buku ini dibuat ada hubungannya dengan usaha Jepang memperkuat pertahanan Indonesia terhadap sekutu pada saat itu (setelah melihat update diatas, ada kemungkinan buku dibuat ada hubungannya dengan usaha Belanda menghadang Jepang dan pada akhirnya dicetak ulang untuk keperluan Jepang sendiri). 

Sumber
Disinilah keunikan buku terlihat. Aliran pencak silat yang dipakai adalah aliran Soetji Hati (Suci Hati) dari Madiun, Jawa Timur. Ada satu perguruan silat di Madiun yang mempunyai sama yaitu "Persaudaraan Pendekar Suci Hati Nurani Alam 1432". Belum diketahui apakah perguruan tersebut sama dengan yang dimaksudkan pada buku.


Buku ini memuat 2 bagian, bagian pertama meliputi jurus dan bagian kedua tentang cara melakukan jurus tersebut terhadap lawan.
Untuk bagian pertama ini, terdapat 12 jurus dan dilengkapi dengan gambar dan instruksi melakukan jurus-jurus tersebut. Salah satu jurus, tepatnya jurus 8, menggunakan tongkat dan bukannya tangan kosong. 

Untuk bagian II, seperti yang sudah dijelaskan di atas, dijelaskan tentang cara menghadapi lawan. Atau dalam buku disebut dengan "bermain dengan lawan".
Titik lemah manusia digambarkan dengan titik-titik hitam pada gambar

Uniknya lagi, buku ini masih dijual pada masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949). Ini terlihat dari 2 kertas pengumuman berangka tahun 1946, tentang harga buku yang naik 2 kali lipat karena ongkos produksi buku yang sangat tinggi. Alhasil saat Romeo membeli buku ini, dia harus membayar 1 rupiah dan bukannya 50 sen seperti harga asli buku ini.

Halaman terakhir tentang daftar isi buku tersebut.

Pada kover belakang, terdapat izin dari Pemerintahan Jepang pada saat itu. Kita bisa melihat bahwa buku ini diberi izin pada 26 April 1945 dan diterbitkan uniknya pada bulan Agustus 1945 atau tepatnya pada bulan kemerdekaan Indonesia serta dicetak oleh T. Murakami.
Jika kita melihat kotak kanji pada halaman pertama buku, yang berarti lulus sensor pada tanggal 14 bulan 2 tahun 2605, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa:
Buku ini dilulus sensor pada tanggal 14 Februari 1945, lulus izin 2 bulan kemudian pada tanggal 26 April dan akhirnya diterbitkan pada bulan Agustus di tahun yang sama.

Setelah melihat semua penjelasan diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa buku ini bisa dibilang salah satu buku terakhir yang terbit pada masa Jepang. Dan jika kita memakai hipotesis bahwa penerbitan buku ini ada hubungannya dengan pertahanan Jepang menghadapi serbuan sekutu, maka munculnya buku ini dibilang sangat terlambat sekali.
One more thing, setelah melihat isi buku ini, sontan ingatan dan imajinasi saya melayang ke adegan film Kungfu Hustle berikut. hehehe


Usia: Agustus 1945

Jumat, 18 Maret 2016

OTD - Jumenengan Sultan Hamengkubuwono IX

Untuk post OTD kedua mungkin yang paling terkenal karena ini tentang upacara naik tahtanya Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. Upacara ini terjadi 76 tahun yang lalu atau pada tahun 1940. Informasi berasal dari sumber yang sama dengan OTD pertama yaitu majalah keraton Kasunanan Surakarta yaitu Pawarti Surakarta nomor 42 tanggal 1 April 1940.
Gambar diatas saat Sultan Hamengkubuwono IX duduk bersama Gubernur Yogyakarta Lucien Adam

Pertama-tama siapakah Sultan Hamengkubuwono IX disini? Dia adalah salah satu tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peran terbesarnya salah satunya pada masa Agresi Militer Belanda kedua pada tahun 1948-49. Menurut buku Doorstoot Naar Djokja karya Julius Pour, saat Pemerintah Indonesia lumpuh pasca ditangkapnya Sukarno-Hatta, Sultan mengambil alih penggajian para pegawai Indonesia. Selain itu pula, Sultan berhasil menjaga agar Belanda tidak bisa mengambil alih kontrol kota Yogya dengan mengumumkan pemboikotan. Sultan juga menyediakan keraton untuk tempat persembunyian para pembawa pesan TNI serta serangan umum 1 Maret 1949 juga merupakan buah pikiran Sultan.
Sultan sendiri lahir dengan nama Darajatun dan merupakan putra dari Sultan Hamengkubuwono VIII dengan Kangjeng Raden Ayu Hamengkunagara. Sempat pergi ke Belanda untuk tujuan pendidikan, dia pulang ke Hindia Belanda saat ayahnya sudah mulai sakit-sakitan pada 18 Oktober 1939. Menurut majalah Tempo Edisi Khusus Hamengkubuwono IX tanggal 17-23 Agustus 2015, ayahnya meninggal tidak lama setelah menasbihkan secara langsung Darajatun sebagai putra mahkota dengan penyerahan pusaka Kasultanan yaitu keris Jaka Piturun (Joko Piturun) pada 22 Oktober 1939. Setelah meninggal ayahnya dan sesudah melalui perundingan kontrak politik dengan Pemerintah Kolonial terutama dengan Gubernur Yogyakarta yaitu Lucien Adam sejak November 1939, akhirnya pada tanggal 18 Maret 1940 diadakanlah upacara jumenengan atau upacara naik tahta Darajatun menjadi Sultan Hamengkubuwono IX.
Berikut rincian acara salah satu peristiwa penting dalam sejarah Darajatun dan yang juga menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah di Indonesia:

Pada hari Senin Pon, tanggal 18 Maret 1940 acara naik tahta sudah dimulai pada jam 9 pagi di Kantor Gubernur. Di tempat itu, sudah berkumpul para tamu yang akan mengikuti acara. Pukul setengah 10, para ningrat Paku Alam yang ditemani oleh Pangeran Surya Atmaja tiba di kantor. Kemudian abdi dalem Bupati menyatakan bahwa keraton sudah siap menerima tamu. Tidak lama kemudian, Gubernur Adam beserta bawahannya langsung berangkat yang juga ditemani oleh Komandan Militer (overste Pik). Gubernur yang menuju ke Sitinggil menemui perwakilan dari Sunan Pakubuwono XI (dari Surakarta) yaitu Pangeran Arya Kusumayuda dan Pangeran Arya Mangkubumi. Kemudian yang dilanjutkan masuk ke Srimanganti yang disambut oleh Pangeran Aryo Mangkukusuma, mereka langsung ke Bangsal Kencana dimana Raden Mas Darajatun sudah siap menyambut pula. Darajatun langsung menyambut Gubernur beserta Asisten Residen Yogyakarta yaitu Mr. Abbenhuis. Setelah itu, acara kembali ke Sitinggil.
Di Sitinggil, Gubernur duduk di Bangsal Mangunturtangkil. Dia langsung menyatakan kepada Darajatun bahwa atas nama Pemerintah Hindia Belanda, Darajatun diangkat menjadi putra mahkota dengan gelar "Pangeran Adipati Anom Amangkunegara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram" di Yogyakarta. Setelah deklarasi tersebut, urutan duduk dipindah ke depan bangsal Mangunturtangkil sebelah kanan. Kemudian acara dilanjutkan dengan dibacakannya beslit (besluit - surat keputusan) oleh Gubernur dalam bahasa Belanda serta Jawa.

Medali Orde van Oranje Nassau
Kemudian Gubernur menyatakan kembali kepada Pangeran Adipati Anom bahwa Pemerintah Hindia Belanda mengangkat dia sebagai Sultan di Yogyakarta. Namun sebelumnya, Pangeran harus bersedia menandatangani surat perjanjian yang telah didiskusikan hingga sumpah. Setelah bersedia, Gubernur melanjutkan bahwa atas nama Pemerintahan Hindia Belanda, Pangeran Adipati Anom diangkat sebagai Sultan di Yogyakarta dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengkubuwono Senapati Ing Alaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatulah Ingkang Kaping IX". Setelah deklarasi tersebut, semua pangeran Kasultanan, Bupati dan Abdi Dalem langsung sungkem kepada Sultan. Sultan kemudian duduk di kursi tahta di Bangsal Mangunturtangkil. Gubernur duduk sejajar di sebelah kanannya. Setelah duduk rapi, diikuti dengan tembakan salvo dari prajurit Kasultanan sebanyak 13 kali. Kemudian Gubernur sekali lagi memberi pernyataan kepada Sultan bahwa Sultan dianugerahi pangkat Generaal Majoor (Mayor Jenderal) KNIL serta diberi medali Orde van Oranje Nassau kelas Commandeur. Setelah prosesi tersebut, Gubernur mengenang mendiang Sultan Hamengkubuwono VIII serta berharap agar Sultan yang baru diberi umur panjang serta kemakmuran.    

   
Raden Mas Darajatun bersama Gubernur menuju Sitinggil akan melaksanakan upacara kenaikan status menjadi putra mahkota.
Terlihat 2 prajurit Lijfwachten Dragonder lengkap dengan seragam garoet dan topi bamboehoed ikut mengawal. Perhatikan pula sepatu bot kavaleri mereka. Di bagian belakang rombongan terlihat 2 perwira memakai seragam jas toetoep
Darajatun bersama Gubernur memasuki Sitinggil
Darajatun saat melakukan perpindahan tempat duduk menuju tahta Putra Mahkota.
Terlihat beberapa tamu militer memakai seragam atilla
Sesaat setelah deklarasi pengangkatan sebagai Sultan.
Darajatun masih memakai pakaian untuk Putra Mahkota.
Gambar diambil dari harian de Locomotief
Darajatun berpidato menjawab hal-hal yang disampaikan Gubernur
Tanda bakti kepada Sultan yang baru
Darajatun bersama Gubernur keluar dari Sitinggil ...
... menuju ke kedaton (bangunan utama keraton) untuk penandatanganan perjanjian. Perhatikan pada kerah pakaian Sultan, sudah terdapat sebuah medali. Medali tersebut adalah Orde van Oranje Nassau.
Terlihat di background sebelah kiri, seorang luitenant kolonel yang mirip dengan Paku Alam VIII
Gambar yang sering muncul di tiap tulisan atau artikel tentang naik tahtanya Darajatun. Namun tidak setiap orang tahu bahwa kedua orang di tengah gambar adalah perwakilan dari Sunan. Mereka adalah Bandara Kangjeng Pangeran Arya Kusumayuda dan Pangeran Arya Mangkubumi. Bandingkan motif batik kedua ningrat Surakarta tersebut yang lebih gelap dibandingkan dengan rekannya dari Yogyakarta
Perjalanan pulang dari Bangsal Mangunturtangkil menuju Bangsal Kencana
Majalah tidak mendeskripsikan secara jelas gambar ini. Deskripsi ini bertuliskan "upacara" 

Setelah acara jumenengan, masih ada acara pada esok harinya. Yaitu kirab alias arak-arakan atau parade keliling kota Yogyakarta. Dari sumber yang sama, acara tersebut sebagai berikut:
Pada hari Selasa tanggal 19 Maret 1940, diadakan acara kirab merayakan naik tahtanya Sultan. Sejak pagi sudah banyak orang yang siap menonton. Di kantor Gubernur jam setengah 8, para tamu sudah bersiap dan para ningrat Paku Alam tiba di sana. Setelah utusan Sultan menyatakan acara siap dimulai, Gubernur beserta para tamu berangkat pada jam 8 dengan tujuan Sitinggil Kemandungan Srimanganti. Sesampainya di Bangsal Kencana, Sultan menyambut para tamu dan menghimbau untuk menunggu selesainya penyusunan barisan prajurit di alun-alun. Kemudian Sultan bersama Gubernur berangkat ke Pagelaran dengan menaiki kereta Garuda YeksaRute kirab berangkat dari tengah Waringin Kurung - Kantor Gubernur - Nekuk Mangerang melewati pasar hingga Loji Kecil - Nekuk Mangidul - Pojok Capuri (pojok dinding) keraton ke arah barat menuju Pojok Capuri lainnya, kemudian ke utara hingga Ngabeyan - belok ke timur hingga ke Societet "De Vereeniging" kembali ke alun-alun utara. Saat kereta melewati benteng Vredeburg, dilepaskan salvo meriam kehormatan. Panjang arak-arakan tercatat 2 kilometer yang terdiri dari para abdi dalem menurut tingkatan golongannya, di tengah-tengahnya kereta Sultan dan Gubernur. Urut-urutan arakan dimulai dari 
  • para padvinder (pramuka) 
  • kereta yang dinaiki bupati kalih
  • para abdi dalem
  • kereta lurah dusun punggawa pangreh praja berjumlah 5 buah
  • para patih dan bupati golongan jawi serta pangreh praja
  • ulama dan prajurit dari 8 pasukan
  • pasukan musik keraton
  • abdi dalem ngampil upacara
  • kuda hiasan
  • kavaleri (kemungkinan pasukan lijfwachten dragonder)
  • prajurit (kemungkinan pasukan lijfwachten dragonder)
  • kereta Garuda Yeksa yang dinaiki Sultan dan Gubernur
  • kavaleri (kemungkinan pasukan lijfwachten dragonder)
  • abdi dalem berjalan kaki
  • kereta 4 buah yang dinaiki bupati lebet
  • prajurit dari 2 pasukan
  • gamelan
  • kereta para tamu

Di tiap tepi jalan terdapat gamelan kehormatan. Setelah sampai di Pagelaran kembali, Sultan dan Gubernur beserta para tamu duduk kemudian acara selesai.

Sultan menaiki Kereta Kencana Garuda Yeksa pada acara kirab tanggal 19 Maret 1940

Kereta Garuda Yeksa saat melewati gedung Nillmij (Nederlandsch-Indische Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij - sekarang Asuransi Jiwasraya)

Para prajurit dan abdi dalem keraton yang mengikuti kirab.
Perhatikan pada pasukan musik keraton, orang paling depan membawa alat musik turkish crescent alias schellenboom atau schellenbaum

Seperti inilah peristiwa yang dapat dibilang penting dalam sejarah Indonesia namun terlupakan. Dapat dibilang jika yang naik tahta disini adalah bukan Darajatun, Indonesia tidak akan ada lagi pada tahun 1949 ...


Usia: 1 April 1940