Keibodan.
Anda pasti mengenal kalimat ini bukan? Jika belum, Keibodan yang berarti "Korps Waspada" dan dalam tulisan kanjinya adalah 警防団 adalah barisan pembantu polisi yang dibentuk pada tanggal 29 April 1943. Tujuan pembentukan mereka adalah untuk sudah pastinya membantu tugas polisi, menjaga lalu lintas, pengamanan desa, pencegahan mata-mata dan sabotase serta lain-lain. Keanggotaan terdiri dari orang-orang berusia 20 - 35 tahun dan nantinya dinaikkan menjadi 26 - 35 tahun. Keibodan sendiri dibentuk hingga tingkat pedesaan dan untuk pemimpinnya diserahkan kepada kepala desa setempat.
Setelah penjelasan singkat di atas, berikut adalah contoh kecil tentang bagaimanakah Keibodan di sebuah daerah pelosok. Untuk koleksi yang saya punya ini yaitu di Purwantoro, Wonogiri di Jawa Tengah.
Sumber |
Sumber |
Sumber |
Untuk Keibodan di Purwantoro sendiri, untuk pasukan yang dilatih pada medio Juli 1943 ini berjumlah personel 117 orang dan berasal dari 4 wilayah. Slogohimo Sun (Son = Kecamatan) terdiri dari 28 orang, Bulokerto Sun 32 orang, Kismantoro Sun 19 orang, dan dari Purwantoro Gun (Kawedanan atau distrik) sendiri terdiri dari 32 orang. Melihat dari peta, ada kemungkinan dulunya Purwantoro adalah semacam distrik tersendiri dan menjadi semacam ibukota terhadap Slogohimo, Bulokerto, dan Kismantoro. Wonogiri sendiri adalah bagian wilayah dari Kadipaten Mangkunegara.
Para penduduk yang mengikuti pelatihan tersebut terdiri dari berbagai umur dan pekerjaan. Umur termuda 17 tahun dan yang tertua 45 tahun. Rekapitulasi umur masing-masing penduduk adalah sebagai berikut:
Para penduduk yang mengikuti pelatihan tersebut terdiri dari berbagai umur dan pekerjaan. Umur termuda 17 tahun dan yang tertua 45 tahun. Rekapitulasi umur masing-masing penduduk adalah sebagai berikut:
- 17 tahun total 11 orang yang terdiri dari Slogohimo 2 orang, Bulokerto 2 orang, Kismantoro 4 orang, dan Purwantoro 3 orang.
- 18 tahun total 14 orang terdiri dari Slogohimo 3 orang, Bulokerto 6 orang, Kismantoro 4 orang, dan Purwantoro 1 orang.
- 19 tahun total 5 orang, terdiri dari Bulokerto 2 orang dan Purwantoro 3 orang.
- 20 tahun total 15 orang, terdiri dari Slogohimo 2 orang, Kismantoro 5 orang, dan Purwantoro 8 orang.
- 22 tahun hanya 1 orang dari Bulokerto.
- 23 tahun total 7 orang, terdiri dari Slogohimo 2 orang, Bulokerto 3 orang, dan Purwantoro 2 orang.
- 24 tahun total 3 orang, terdiri dari Slogohimo 2 orang dan Purwantoro 1 orang.
- 25 tahun total 13 orang, yang terdiri dari Slogohimo 4 orang, Bulokerto 4 orang, Kismantoro 4 orang dan Purwantoro 1 orang.
- 26 tahun total 4 orang, yang terdiri dari Slogohimo 2 orang dan Purwantoro 2 orang.
- 27 tahun total 6 orang, yang terdiri dari Slogohimo 3 orang, Bulokerto 2 orang, dan Purwantoro 1 orang.
- 28 tahun total 3 orang, terdiri dari Slogohimo 1 orang dan Bulokerto 2 orang.
- 29 tahun hanya 2 orang dari Slogohimo.
- 30 tahun total 10 orang, yang terdiri dari Slogohimo 5 orang, Bulokerto 3 orang dan Purwantoro 2 orang.
- 33 tahun total 3 orang, terdiri dari Slogohimo 2 orang dan Purwantoro 1 orang.
- 34 tahun total 4 orang, masing-masing daerah menyumbang 1 orang.
- 35 tahun total 7 orang, terdiri dari Slogohimo 1 orang, Bulokerto 3 orang, dan Purwantoro 3 orang.
- 36 tahun hanya 1 orang dari Bulokerto.
- 37 tahun hanya 1 orang dari Slogohimo.
- 38 tahun total 2 orang dari Slogohimo dan Purwantoro.
- 39 tahun hanya 1 orang dari Kismantoro.
- 40 tahun total 3 orang, yang terdiri dari Bulokerto 2 orang dan Purwantoro 1 orang.
- 45 tahun hanya 1 orang dari Purwantoro.
Melihat dari umur-umur diatas, kita bisa melihat adanya ketidaksesuaian dengan data yang saya paparkan di awal tulisan. Kita bisa melihat banyak orang diluar aturan umur, diterima dan dilatih. Apakah daerah Purwantoro mendapatkan pengecualian untuk umur? Uniknya pula, hampir kesemua orang diatas umur 35 tahun mempunyai jabatan di desa. 5 orang diantaranya adalah Carik dan satu orang adalah Kotyo (Kutyo = lurah / kepala desa). Hanya satu orang adalah petani. Namun yang lebih unik lagi, kesemua orang menempati jabatan tinggi di Keibodan. Untuk jabatan Keibodan akan dijelaskan dibawah.
Jika anda penasaran siapakah orang tertua yang ikut pelatihan Keibodan ini, dia adalah Sastrowikromo dari Gondang Ko (Ku = Kelurahan atau desa) dari Purwantoro yang menjabat Huku Dantyo, bekerja sebagai Carik.
Untuk pekerjaan sendiri, berbagai macam pekerjaan tercatat disini. Yaitu:
Berikut rekapitulasi pekerjaan per-daerah:
- Petani
- Carik
- Guru P.W.S. (saya masih tidak mengetahui apa kepanjangan dari singkatan tersebut)
- Kebayan (pegawai desa yang bertugas menyampaikan perintah dan menjaga keamanan desa)
- Petani Subak (subak = sistem pengairan sawah)
- Petani Kuli Muka
- W.D. Kebayan
- Jogotirto (penjaga air untuk petani)
- Kamituwo (kepala dusun)
- Pedagang
- Peniti P.W.S.
- W.D. Kotyo
- Kotyo
Berikut rekapitulasi pekerjaan per-daerah:
- Petani 37 orang, terdiri dari Slogohimo 15 orang, Bulokerto 3 orang, Kismantoro 9 orang, dan Purwantoro 10 orang.
- Carik 29 orang, yang terdiri dari Slogohimo 7 orang, Bulokerto 12 orang, Kismantoro 4 orang, dan Purwantoro 6 orang.
- Guru P.W.S. 28 orang, terdiri dari Slogohimo 5 orang, Bulokerto 15 orang, Kismantoro 3 orang, dan Purwantoro 5 orang.
- Kebayan 5 orang, terdiri dari Slogohimo 2 orang, Kismantoro 2 orang, dan Purwantoro 1 orang.
- Petani subak hanya 1 orang dari Slogohimo.
- Petani kuli muka hanya 1 orang dari Slogohimo.
- w.d. Kebayan hanya 1 orang dari Slogohimo.
- Jogotirto 3 orang, yang terdiri dari Slogohimo 1 orang dan Bulokerto 2 orang.
- Kamituwo hanya 1 orang dari Kismantoro.
- Pedagang hanya 1 orang dari Purwantoro.
- Peniti P.W.S. 2 orang dari Slogohimo dan Purwantoro.
- w.d. Kotyo hanya 1 orang dari Purwantoro.
- Kotyo 3 orang dari Purwantoro.
- Pengangguran 4 orang dari Purwantoro.
Di dalam Keibodan sendiri, ada beberapa tingkatan pangkat atau jabatan yang dipegang oleh orang-orang yang berlatih diatas. Setelah sempat saya singgung di Sastrowikromo, pangkat Keibodan adalah:
- Dan In
- Huku Dantyo
- Komon (dalam laporan terdapat Komon I dan Komon II)
- Hantyo
Latihan Keibodan tersebut diadakan selama seminggu dari tanggal 9 Juli 1943 hingga tanggal 16 Juli 1943. Selama latihan tersebut ada 5 orang yang tidak menyelesaikan latihan hingga selesai. Yaitu dari Slogohimo Sun, Soemarno berumur 23 tahun berumah di Slogohimo Ko, pekerjaan petani yang sakit pada tanggal 11 Juli; Soyo umur 18 tahun dari Sokobayo Ko dengan jabatan Dan In, pekerjaan petani yang sakit pada 10 Juli 1943.
Dari Bulokerto Sun, Wikoen 28 tahun dari Sugian Ko dengan jabatan Komon, pekerjaan guru P.W.S. yang pulang pada tanggal 12 Juli.
Dari Kismantoro Sun, Soemarso umur 20 tahun dari Bugelan Ko dengan jabatan Dan In, pekerjaan petani yang pulang pada 13 Juli.
Dan dari Purwantoro Gun, Djoyosoetomo umur 40 tahun dari Bakalan Ko dengan jabatan Dan In, pekerjaan petani yang sakit pada tanggal 10 Juli.
Sayang tidak diketahui seperti apa latihan yang dilakukan oleh para calon Keibodan tersebut. Namun ada sedikit keterangan bahwa kemungkinan pelatihan melibatkan barang-barang yang berat. Ini diperlihatkan dari dibayarnya para kuli saat pelatihan. Selain itu pula saat calon Keibodan akan diwisuda oleh Purwantoro Guntyo, ada informasi bahwa saat Purwantoro Guntyo mengumpulkan kesemua calon Keibodan di atas, dia menjelaskan soal bahaya udara (salah seorang saksi menyebutnya dengan kalimat "Kei Ka Kei Hoe") dan tentang hal polisi.
Mungkin saat itu Purwantoro Guntyo menjelaskan juga bagan pengawasan pasukan payung di pedesaan seperti bagian buku Pembelaan Tanah Air ini |
Saat pelatihan sendiri, terdapat semacam kontribusi keuangan yang disumbangkan oleh masing-masing masyarakat di Purwantoro. Jika kita berpegangan dengan arsip yang ada, tiap-tiap Ko menyumbangkan dana bermacam-macam, dari yang terendah sebesar 1 rupiah 60 sen hingga yang tertinggi 2 rupiah 60 sen. Sedangkan ada sumbangan tambahan dari orang-orang terpandang dan bagi yang ingin menyumbang lebih. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh Mas Karjohartono dengan 5 rupiah, dia bekerja sebagai pedagang bunga. Sedangkan untuk para orang terpandang lainnya seperti kepala sekolah, Ronggo (pejabat desa), hingga kepala desa; mereka menyumbang minimal 25 sen. Total kontribusi dana yang disumbangkan untuk pelatihan Keibodan di Purwantoro sebesar 140 rupiah 55 sen, kesemuanya dari 87 penyandang dana.
Setelah semua penjelasan diatas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kinerja Keibodan dilapangan? Sayang tidak diketahui secara jelas seperti apa kualitas para Keibodan yang baru ini. Namun ada satu kejadian menarik yang melibatkan salah satu petinggi Keibodan yang tidak ikut dalam pelatihan pada bulan Juli 1943 tersebut. Kejadian tersebut terjadi pada pasar Dangkrang di Purwantoro tanggal 21 Juli 1943.
Pasar Dangkrang yang sayangnya terbakar pada 17 Desember 2015 Sumber |
Pada tanggal tersebut, Ronggo Pasar yang bertugas menjaga pasar yaitu Mas Ngabehi Martasoejata melaporkan bahwa terjadi kekacauan di pasar tersebut. Di hari Rabu Pon tersebut, saat menjaga pasar disebelah barat, Martasoejata mendengar ada banyak orang berlari-lari dan berteriak "ada Nippon dateng" (Ada orang Jepang datang!). Kedatangan orang Jepang tersebut, untuk menjual barang-barang dengan harga murah. Seketika orang-orang yang sebelumnya menggelar barang dagangan di pasar tersebut langsung tutup. Kacaunya lagi orang-orang yang menjual ratengan (pedagang makanan), banyak kehilangan cangkir dan piring. Saat Martasoejata berusaha menentramkan keadaan terutama di bagian pedagang barang bekas, terjadi huru-hara tambahan yang terjadi disitu. Terdapat pedagang yang bernama Bok (Mbok = Nyonya) Kasan diancam oleh Sukamangu Dantyo Hatmokarjono. Kejadian yang disaksikan oleh Kartorinto tersebut terjadi saat Bok Kasan yang sedang menjual barang dagangannya yaitu sebuah baju perempuan dengan motif lurik seharga 2 rupiah sedang ditawar oleh seorang pembeli. Saat itu Bok Kasan menaruh harga 2 rupiah 50 sen, sedangkan sang calon pembeli menawar dengan harga 1 rupiah 20 sen. Pada saat tawar menawar tersebut, muncullah Hatmokarjono yang langsung mengancam Bok Kasan dengan tendangan, jika dia tidak melepas pakaian tersebut dengan permintaan harga sang pembeli. Sesaat setelah Bok Kasan merelakan barangnya laku, kondisi pasar langsung ramai kembali bahkan terjadi huru hara. Menurut kesaksian orang banyak, kondisi Hatmokarjono saat itu dalam kondisi mabuk. Kacaunya lagi, Hatmokarjono saat itu sedang bertugas sebagai seorang Keibodan.
Kesaksian Martasoejata |
Namun kontroversi Hatmokarjono tidak hanya itu saja. Hebatnya lagi, perilaku Hatmokarjono disaksikan langsung oleh Purwantoro Guntyo (Wedana) langsung. Peristiwa tersebut terjadi saat ironisnya upacara wisuda atau pelantikan para Keibodan yang baru pada tanggal 30 Juli 2603 di Pendopo Kawedanan. Acara saat itu dihadiri oleh para petinggi desa seperti Kepala Carik, Kamituwo, Kebayan, Jogotirto, Modin (pejabat desa dalam bidang keagamaan) diseluruh Purwantoro Gun dan dihadiri langsung oleh Purwantoro Guntyo sendiri. Acara dimulai pada pukul 10:30 atau 11 pagi dimulai dengan absensi yang dilakukan oleh Guntyo kepada para petinggi desa. Jika ada yang tidak hadir, maka dicari tahu apa penyebabnya. Saat itu disadari bahwa Hatmokarjono tidak hadir dan tidak diketahui pula mengapa dia tidak ikut. Acara atau pada arsip disebut konferentie tersebut seharusnya wajib dihadiri oleh para petinggi desa, terutama kepala desa seperti Hatmokarjono. Guntyo langsung menyuruh Carik Sukamangu untuk mengkonfirmasi ketidakhadiran Hatmokarjono. Carik langsung mendapatkan balasan dari Hatmokarjono melalui telepon bahwa dia tidak ikut konferentie. Uniknya pula, saat itu ada kesaksian bahwa Hatmokarjono terlihat di teras kantor Kawedanan Purwantoro dengan memakai pakaian pantalon bukannya seragam resmi. Sesaat sesudahnya, acara dimulai dengan dijelaskan soal bahaya udara dan tugas polisi dengan jelas oleh Guntyo. Setelahnya dipanggil para Katyo beserta para Dan In, secara dua dua untuk dijelaskan tugas dan hak mereka sebagai Keibodan. Sesudahnya 15 orang Keibodan yang baru lainnya menghadap Guntyo, saat yang bersangkutan membacakan Boekoe Hal Soesoenan Keibodan (Buku Hal Susunan Keibodan). Para anggota Keibodan di atas adalah anggota yang bukan para petinggi desa.
Namun Guntyo tidak lupa dengan Hatmokarjono dan langsung menyuruh Carik Sukamangu kembali dan disertai dengan Keiboko (Mantri Polisi = pegawai pembantu camat / lurah yang bertugas dalam hal pamong praja) setempat untuk mencari tahu secara langsung mengapa Hatmokarjono tidak bisa ikut serta. Namun diketahui Hatmokarjono memberi alasan berbelit-belit dan dia tiba-tiba pergi. Saat dikonfirmasi kembali karena acara pelantikan mewajibkan adanya kepala desa yang mengepalai Dan In mereka, diketahui bahwa Hatmokarjono sedang memperbaiki sepedanya dan dengan berani menantang Guntyo. Jika Guntyo tidak percaya dengan alasan dia, maka boleh dilibatkan polisi dalam masalah ini. Hatmokarjono juga menambahkan, dia akan menghadap sendiri pada jam 3 sore. Karena dianggap bisa menyebarkan pengaruh yang tidak baik kepada orang banyak, maka acara pelantikan ditutup pada pukul 3 sore, sebelum Hatmokarjono menghadap. Setelah berkonsultasi dengan Kaisatsu (Keisatsu = Polisi) daerah Wonogiri, maka Guntyo mengambil keputusan untuk meng-skors Hatmokarjono sebagai kepala desa karena dia sudah dianggap kurang ajar dan ditambah dengan sepak terjangnya di pasar Dangkrang seminggu yang lalu. Tugas kepala desa diserahkan kepada Carik Sukamangu.
Setelah kasus Hatmokarjono di atas, mungkin anda masih bertanya-tanya, siapakah gelombang pertama Keibodan di Purwantoro? Jawabannya mungkin si Hatmokarjono sendiri. Mungkin saat itu, para petinggi desa sudah dilatih terlebih dahulu di ibukota masing-masing. Untuk Purwantoro, mereka dilatih di Solo yang merupakan ibukota Mangkunegara. Setelah selesai dilatih, giliran mereka melatih penduduknya di desa masing-masing.
Jadi seperti inilah contoh Keibodan di desa-desa. Jika kita melihat semua usaha pembentukan Keibodan diatas, kita menyadari bahwa Pemerintah Militer Jepang memang tidak ingin kecolongan dengan adanya spionase. Dan mereka sadar bahwa desa harus diperkuat terlebih dahulu.
Tambahan informasi saja, dari daerah yang sama pula setahun kemudian, Guntyo sempat memberi dana untuk "beja makan boeat sakoe prapaganda kolonisasi". Apakah mungkin yang dimaksudkan disini adalah biaya makan untuk para juru propaganda kolonisasi di desa-desa Purwantoro?
Semoga tulisan ini bisa membantu anda semua dalam mengerti tentang Keibodan.
Usia: 1943 - 1944
Namun Guntyo tidak lupa dengan Hatmokarjono dan langsung menyuruh Carik Sukamangu kembali dan disertai dengan Keiboko (Mantri Polisi = pegawai pembantu camat / lurah yang bertugas dalam hal pamong praja) setempat untuk mencari tahu secara langsung mengapa Hatmokarjono tidak bisa ikut serta. Namun diketahui Hatmokarjono memberi alasan berbelit-belit dan dia tiba-tiba pergi. Saat dikonfirmasi kembali karena acara pelantikan mewajibkan adanya kepala desa yang mengepalai Dan In mereka, diketahui bahwa Hatmokarjono sedang memperbaiki sepedanya dan dengan berani menantang Guntyo. Jika Guntyo tidak percaya dengan alasan dia, maka boleh dilibatkan polisi dalam masalah ini. Hatmokarjono juga menambahkan, dia akan menghadap sendiri pada jam 3 sore. Karena dianggap bisa menyebarkan pengaruh yang tidak baik kepada orang banyak, maka acara pelantikan ditutup pada pukul 3 sore, sebelum Hatmokarjono menghadap. Setelah berkonsultasi dengan Kaisatsu (Keisatsu = Polisi) daerah Wonogiri, maka Guntyo mengambil keputusan untuk meng-skors Hatmokarjono sebagai kepala desa karena dia sudah dianggap kurang ajar dan ditambah dengan sepak terjangnya di pasar Dangkrang seminggu yang lalu. Tugas kepala desa diserahkan kepada Carik Sukamangu.
Proses Verbal dari Purwantoro Guntyo sendiri ... |
... dan diperkuat dengan kesaksian dari 3 orang yaitu Carik Sukamangu, Carik Purwantoro, dan seorang Demang Tani di Purwantoro. Kesemua proses verbal ini dihaturkan kepada Wonogiri Kentyo |
Setelah didalami, didapat informasi bahwa tingkah Hatmokarjono sudah tidak baik sejak pulang dari latihan sebagai Keibodan di Solo. Pekerjaannya sebagai kepala desa juga dia lalaikan. Meskipun pintar, namun tingkah lakunya kasar pula. Dan demi menjaga ketentraman orang-orang desa maka Hatmokarjono resmi dicopot jabatannya. Namun status pencopotan jabatannya secara terhormat atau tidak, menunggu perkembangan selama setahun kedepan. Pencopotan jabatan juga dilaporkan kepada Wonogiri Kentyo, namun saat itu yang bersangkutan sedang menghadap Mangkunegara VII. Dapat dibilang Hatmokarjono masih beruntung karena sepak terjang dia tidak dilaporkan kepada para petinggi Jepang.
Penjelasan Purwantoro Guntyo perihal Hatmokarjono |
Jadi seperti inilah contoh Keibodan di desa-desa. Jika kita melihat semua usaha pembentukan Keibodan diatas, kita menyadari bahwa Pemerintah Militer Jepang memang tidak ingin kecolongan dengan adanya spionase. Dan mereka sadar bahwa desa harus diperkuat terlebih dahulu.
Mungkin gambar diatas seperti yang diinginkan oleh Jepang kepada para Keibodan, para penduduk desa yang ikut serta dalam pengamanan garis belakang |
Tambahan informasi saja, dari daerah yang sama pula setahun kemudian, Guntyo sempat memberi dana untuk "beja makan boeat sakoe prapaganda kolonisasi". Apakah mungkin yang dimaksudkan disini adalah biaya makan untuk para juru propaganda kolonisasi di desa-desa Purwantoro?
Semoga tulisan ini bisa membantu anda semua dalam mengerti tentang Keibodan.
Usia: 1943 - 1944
Tidak ada komentar:
Posting Komentar