Oude Indonesie

Oude Indonesie
Nederland oost-indiƫ hier komen we!

Zoeklicht

Zoeklicht
We zullen de kolonie te verdedigen!

Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?

Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?
Which side are you? Voor het koninklijke or demi Republik?

Rabu, 04 Mei 2016

KTP di Jaman Jepang

Koleksi saya kali ini adalah membahas tentang KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang berlaku pada jaman penjajahan Jepang. Lebih tepatnya KTP untuk para penduduk bangsa asing pada masa itu. Salah satunya adalah penduduk vreemde oosterlingen tinggalan masa Belanda. 

Setelah anda melihat sekilas, banyak sekali tulisan kanji yang tertulis di KTP ini. Tentu saja ini agar mempermudah aparat bangsa Jepang untuk mengecek informasi yang tertera.
Informasi yang tertera pada kartu identitas tersebut adalah:
  1. Nomor KTP
  2. Nama dan umur
  3. Alamat sekarang
  4. Bangsa sang pemilik KTP, tempat kelahiran, tempat asal kedatangan
  5. Pekerjaan
  6. Lama tinggal di Hindia Belanda / Indonesia
  7. Status pernikahan, jumlah anak
  8. Tanggal pembuatan KTP
  9. Biaya pendaftaran KTP
Pasar Besar / Pasar Gede di Solo
pada tahun 1935
Sumber
Untuk pemilik disini adalah seorang wanita Tionghoa bernama Jap Tjong Nam (Yap Cong Nam) yang mempunyai nama gadis Liem Too Lien. Wanita berumur 28 tahun yang mempunyai nomor identitas "Solo No. A 716" ini tinggal di Pasar Besar nomor 59 di Solo. Nyonya Jap sendiri bukanlah orang asli kelahiran Indonesia, dia sendiri asli dari Kanton di Cina. Dia pindah ke Hindia Belanda pada tahun 1932 yang akhirnya dia menikah dan mempunyai putra Jap Jam Tjoeng pada tahun 1939. Saat Jepang datang, dia sendiri tidak mempunyai pekerjaan. Hanya membantu suami saja. Ngomong - ngomong, status nyonya Jap disini mengingatkan dengan kompatriotnya yaitu Oei Poh Nio beberapa dekade sebelumnya. Untuk KTP - nya sendiri, dibuat pada tanggal 16, bulan 5, tahun Showa 17. Yang berarti, KTP dibuat pada tanggal 16 Mei 1942. Dalam pembuatan kartu identitas ini, memakan biaya yang tidaklah murah. 50 gulden harus dikeluarkan oleh nyonya Jap disini.
KTP juga dihiasi dengan foto dan cap jempol nyonya Jap yang diverifikasi dengan stempel penguasa Jepang setempat dengan cap stempel mini pada batas tepi foto. Selain itu pula terdapat 2 stempel besar pada tanggal pembuatan KTP dan batas tepi KTP.
Pada bagian belakang KTP, terdapat informasi 2 bahasa tentang KTP ini.

Terdapat informasi menarik diatas, yaitu agar KTP tetap dijaga kebersihannya dan agar jangan sampai hilang. Ini agar KTP tersebut bisa selalu siap dicek oleh para perwira maupun oleh pegawai swasta.
*Update 1 Juni 2016:
Saya mendapatkan lagi sebuah KTP Solo, untuk kali ini atas nama Tjioe Hwat Go Nio (Ciu Hwat Go Nio).

Berbeda dengan Jap, Tjioe disini belum bersuami dan tinggal bersama orang tuanya. Selain itu, Tjioe sendiri kelahiran di Hindia Belanda tepatnya di Plupuh, Sragen. Sragen yang pada masa Belanda merupakan bagian dari Keraton Kasunanan di Solo tetap menjadi bagian dari keraton. Alhasil pusat perijinan berada di Solo. Saat itu Tjioe membuat KTP pada tanggal 4 Juni 1942 dan patut diperhatikan dia mempunyai nomor "Solo No. A 4042" jika kita bandingkan dengan nomor urut Jap yaitu "Solo No. A 716", kita bisa melihat hanya dalam kurun satu bulan sudah lebih dari 3300 orang yang membuat KTP. Sama dengan Jap, Tjioe mengeluarkan biaya sebesar 50 gulden dalam pembuatannya. Uniknya juga, Tjioe memasang fotonya bukan dengan lem melainkan dengan benang. Bisa dibilang, KTP Tjioe ini adalah KTP Sragen pada jaman Jepang.
Setelah penjelasan KTP milik saya, mari kita cek KTP jaman Jepang yang saya temukan di online:
KTP Banyumas yang dibuat pada 2 Juni 1942
Sumber

KTP Magelang yang dibuat 25 Mei 1942.
Biaya pendaftaran terlihat lebih mahal dikarenakan sang pemilik adalah pria Tionghoa yaitu sebesar 100 gulden.
Sumber

KTP Magelang 10 Mei 1943
Sumber

KTP Tegal, 9 Juni 1942
Sumber

KTP Pekalongan, 28 Mei 1942.
Keunikan KTP ini adalah adanya pembayaran pembuatan dengan cara dicicil 5 kali.
Cicilan sendiri akhirnya lunas pada tanggal 28 Agustus 1942
Sumber

KTP Cirebon untuk seorang pria Tionghoa pada 24 Juni 1942.
Sumber

KTP kemungkinan dari Probolinggo, Juni 1942.
Yang unik untuk KTP ini adalah cicilan dicatat di bagian belakang KTP. Tercatat 9 kali cicilan dengan besaran yang bervariasi.
Sumber

KTP kemungkinan juga dari Probolinggo, 27 Mei 1942.
Sumber

KTP kemungkinan dari Banyumas, 6 Juni 1942.
Sumber
*Update 4 Juli 2016:KTP orang Arab. Kita bisa melihat biaya yang dia keluarkan adalah 50 gulden. Sama dengan wainta Tionghoa.
Sumber

KTP orang Indo tertanggal 7 Mei 1942 dan diperbaharui pada tahun 1945.
Terlihat biaya pembuatan lebih mahal dibandingkan milik wanita Tionghoa dan Arab yaitu sebesar 80 gulden.
Sumber

KTP Bandung, 6 Mei 1942. Tidak diketahui status dia disini, tapi kemungkinan juga orang Indo.
Sumber

Untuk KTP ini, bisa dibilang yang paling unik karena masih ada hubungannya dengan KTP milik saya.
KTP tertanggal 20 Mei1942 ini adalah KTP Solo. Dan jika anda melihat alamat sang pemilik yaitu tuan Lauw, anda akan sadar jika pemilik KTP disini masih tetangga nyonya Jap. Jika nyonya Jap tinggal di Pasar Besar nomor 59, maka tuan Lauw tinggal di Pasar Besar Lor nomor 52! Namun tuan Lauw baru tinggal di Pasar Besar pada tahun 1946. 
Sumber

Setelah melihat beberapa contoh KTP diatas, ada beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil disini.
Pertama, terdapat perbedaan biaya pendaftaran / pembuatan KTP. Tarif - tarif tersebut adalah:
  • Wanita Tionghoa = 50 gulden.
  • Pria Tionghoa = 100 gulden.
  • Wanita Indo = 80 gulden.
Sayang tidak ada contoh KTP pria Indo disini. Tetapi jika kita memakai logika bahwa biaya pembuatan KTP pria Tionghoa 2 kali lipat dibandingkan untuk yang wanita, maka biaya KTP pria Indo bisa sebesar 150 - 160 gulden.
Kedua, biaya pembuatan KTP bisa dicicil. Dan tidak ada aturan ketat tentang cicilan disini.
Ketiga, KTP ini masih bisa berlaku hingga masa Revolusi Kemerdekaan.
Akhir kata, KTP milik nyonya Jap ini adalah saksi bisu dari usaha Pemerintah Militer Jepang untuk mengawasi penduduk asing di Indonesia pada masa itu. Terutama untuk bangsa Tionghoa yang loyalitasnya dipertanyakan karena negara mereka sedang berperang dengan Jepang sendiri. Untuk bangsa inlander atau pribumi sendiri, mereka tidak mendapatkan KTP jenis ini. Apakah mereka mendapatkan KTP jenis lain, ini masih berupa pertanyaan ...

*Update 16 Juni 2016:
Meskipun saya masih belum mendapatkan peraturan tertulis dari Pemerintah Pendudukan Jepang, namun kita bisa mendapatkan jawabannya dari cerita "Babad Nipon" yang saya dapatkan belum lama ini. Pada babad yang menceritakan datangnya Jepang ke pulau Jawa pada Perang Dunia II dan akibatnya di kota Solo khususnya, sempat diceritakan adanya pembuatan KTP.
"Wus tentrem ing Tanah Jawi.
Bali kaya mula nira.
Dai Nipon ngundangake.
Kabeh Londo lan wong Manca.
Cina Arab lan Koja.
Pada kena bayar beya mlebu.
Rupa duwit nyang nagara.
Akehe manut ing tarip 
Londo lanang karo belah.
Cina Arab satus bahe.
Sing wetok samono uga.
Saparo bayar hira.
Kabeh petung rupiah wutuh.
Yen nora kena pidana." 

"Ketentraman di Tanah Jawa.
Kembali seperti semula.
Jepang mengundang.
Semua orang Belanda dan semua orang Vreemde Oosterlingen.
Cina, Arab, dan India.
Semua mendapat biaya pendaftaran.
Berupa uang kepada negara.
Banyaknya menurut peraturan yang ada.
Orang Belanda, laki - laki, seratus lima puluh.
Cina dan Arab seratus saja.
Bagi yang perempuan tarif tersebut boleh.
Membayar separuh juga bisa.
Semua, berupa gulden utuh.
Yang tidak, akan kena hukuman pidana."

Seperti yang anda lihat, meskipun cerita di atas tidak menceritakan serta merta pembuatan KTP, namun beberapa elemen cerita sesuai dengan bukti - bukti KTP yang saya tampilkan. Ini terbukti dari biaya yang sesuai dengan bukti di atas. Untuk orang Belanda yang juga termasuk Indo adalah 150 gulden bagi yang pria. Sedangkan yang wanita boleh separuhnya yaitu 80 gulden. Bagi orang Cina, sesuai pula dengan bukti - bukti diatas. Bisa diambil kesimpulan, bagi orang India dan Arab juga mendapat tarif yang sama dengan orang Cina. Dari informasi tersebut pula, kita bisa mengetahui bahwa pada masa itu Pemerintah Jepang memang membuat KTP khusus untuk orang non pribumi. Kita juga bisa melihat bahwa kepemilikan KTP pada saat itu adalah sesuatu yang wajib dan diikat oleh hukum.

*Update 17 Juni 2016:
Sekadar tambahan informasi saja, berikut ijin yang diberikan kepada orang pribumi saat dia bepergian. Ekuivalen dengan Surat Keterangan Kelakuan Baik pada masa sekarang, surat tersebut dikeluarkan oleh Kutyo alias Kepala Desa di daerah milik Mangkunegaran di Solo. Dapat dibilang surat ini sama fungsinya seperti halnya KTP bagi orang non pribumi pada masa Jepang.
"Ketrangan
Menerangkan bahwa orang bernama Soepardi beroemah di kampoeng Mangkoeboemen Kulon, bahwa ia hendak pergi ke Pekalongan dan ia bertinggal di kampoeng terseboet beloem pernah tersangkoet perkara poelisi.
Mangkoeboemen 22/7 2604
Mangkoeboemen Kutijo
"

"Keterangan
Menerangkan bahwa orang bernama Soepardi bertempat tinggal di kampung Mangkubumen Kulon, bahwa dia akan bepergian ke Pekalongan dan dia bertempat tinggal di kampung tersebut belum pernah tersangkut perkara dengan pulisi.
Mangkubumen 22 Juli 1944
Mangkubumen Kutyo"


Usia: 16 Mei 1942

Tidak ada komentar:

Posting Komentar