Setelah Cakrabirawa, berikut adalah koleksi saya yang sama-sama kontroversial. Kali ini tentang tapol atau tahanan politik.
Sumber |
Yang pertama adalah kartu pos dari seorang tapol kepada anaknya. Tahpol (tapol) yang bernama Darjono alias Slamet yang ditahan di LP (Lembaga Permasyarakatan) Batu di Nusa Kambangan Cilacap ini mengirim sebuah kartu pos ke anaknya yaitu Muljadi di Solo. Kartu pos dari tapol bernomor register 2469 tersebut berisi tentang permintaan seorang ayah kepada anaknya seperti ayah-ayah lainnya. Yaitu tetap rajin belajar dan pertanyaan tentang apakah Darjono sudah mempunyai seorang menantu. Tidak lupa Darjono meminta Muljadi untuk tetap mengirimkan kabar.
Keunikan dari kartu pos ini, juga terlihat dari adanya sensor dari petugas LP. Dari spidol warna hijau hingga stempel sensor menghiasi kartu pos ini.
Kartu pos ini dapat dibilang lama sampainya hingga ke tempat tujuan. Dibuat pada 10 Juni 1972, petugas sensor selesai mengsensor pada 14 Juni 1972. Setelah dikirimkan, akhirnya kartu pos tiba di Solo pada tanggal 27 Juli 1972. Tidak diketahui kenapa kartu pos ini bisa membutuhkan waktu lebih dari sebulan untuk sampai ke tujuan. Apakah mungkin karena ada hubungannya dengan status tapol itu sendiri? Sayang saya tidak mengetahui nasib Darjono disini.
Sumber |
Sumber |
Saat itu tapol bernama Pudjo Prasetio yang lahir pada tahun 1926 dan mempunyai 5 orang anak yang bekerja sebagai disainer kapal serta anggota serikat perdagangan, ditahan dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada April 1979. Tuduhannya adalah keikutsertaan dia sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) atau ikut dalam gerakan subversif. Pudjo sendiri bergabung dengan partai tersebut sejak tahun 1950 dan saat itu dia tinggal di Bali. Saat tahun 1965, Pudjo harus melarikan diri saat terjadi pemberantasan simpatisan PKI. Pada akhirnya dia ditangkap di Jawa Tengah pada 2 November 1967. Sempat dipenjara di Semarang hingga tahun 1974, Pudjo akhirnya divonis oleh pengadilan Bali pada tahun 1979. Amnesty International saat itu menganggap vonis penjara seumur hidup yang diterima oleh Pudjo tidaklah adil, karena Pudjo hanya dianggap sebagai seorang anggota di partai terlarang tersebut serta ketidakikutsertaan dia pada peristiwa 30 September. Alhasil Amnesty International meminta masyarakat Eropa melalui media massa untuk mengirimkan surat kepada Suharto untuk meminta pengampunan. Alhasil surat-surat dari Eropa mulai berdatangan untuk Suharto dan beberapa diantaranya bisa anda lihat dibawah ini:
Surat tertanggal 29 Agustus 1984 dari Myrtha und Hans Gut dari Swiss |
Surat atas nama J. van Cauter dari Belgia pada 16 Oktober 1984. Selain itu terdapat 3 orang tambahan yang ikut menandatangani surat |
Surat ketiga dari L. de Wulf dari Belgia yang tidak bertanggal. Namun surat ini yang paling ramai, karena ada lebih dari 10 orang yang ikut menandatangani |
LP Kedung Pane. Sumber |
Di tahun terakhir kekuasaan Suharto, Pudjo berhasil mendapatkan perhatian dari pers. Meskipun pers disini bukanlah media massa pada umumnya, namun pers untuk pembelaan tapol. Tetapi seperti halnya pada tahun 1984, media massa internasional berhasil meneliti kondisi Pudjo dan meminta pembebasan dia kembali. Namun Suharto tetap tidak bergeming.
Kemalangan seseorang bisa menjadi berkah bagi yang lainnya. Ini berlaku dengan jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998, yang membuka pintu gerbang kebebasan bagi Pudjo. Sempat disinggung oleh Menteri Kehakiman saat itu yaitu Muladi pada 16 Agustus 1998, bahwa Pudjo akan diberi pengampunan atas dasar kemanusiaan oleh Presiden B. J. Habibie. Esoknya pada hari perayaan kemerdekaan Indonesia yaitu tanggal 17 Agustus 1998, Pudjo dibebaskan bersama 27 tapol lainnya. Namun kebebasannya harus dibayar dengan kesehatannya, saat itu dia harus dibantu dengan kursi roda. Dia juga lemah dan lumpuh. Sayangnya saya tidak menemukan informasi mengenai Pudjo dari pihak berseberangan, maka kita tidak akan pernah mengetahui seperti apa sudut pandang pemerintah disini ...
Usia: 1972 dan 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar